Cerpen
Sastra
Di Ujung Musim Semi, Bagian 2 (Yornes Panggur, OFM)
![]() |
kompasiana.com |
(Bagian 2)
Kota metropolitan sungguh kejam. Cinta sejati tak mungkin
diraih tanpa peluh dan darah di ujung asa. Panas menyengat insan pengemis
makna. Entah sampai kapan dunia ini begini.
Tatapan hampa berjejer di trotoar. Di balik punggung
ibunya, bayi menangis minta makan. Tak ada kaca mobil
yang dibuka. Dagu orang-orang
kaya ditopang, sesekali melambaikan tangan. “Nggak ada,” kata mereka. Tatapan matanya pun
lirih, menanti pelita jalan berubah hijau.
Zaenal memegang tangan Oma Sherly. Mereka menjemput
matahari ketika sudah menjelang siang. Hari ini ia berjumpa dengan buah-buah
cintanya. Ditanam dalam belukar kota, dirawat oleh nasib, dan dipertemukan oleh
pekatnya Jakarta .
Ruangan tamu Rumah Singgah dibanjiri air mata. Air mata anak-anak yang tak kenal asal mereka. Sang ibu pun tak mengenal
luka-luka mereka. Ia depresi.
***
Nokia biru nan lusuh itu kembali dipencet-pencet. Nomor
yang dituju tak kunjung terhubung.
“Ibu Lina, saya Zaenal. Saya orang Rumah Singgah,” kata Zaenal.
“Saya sudah bilang ke susternya, saya tak kenal nama itu!” Begitu sahut suara dari balik telepon, dengan nada meninggi.
“Tapi yang kami tahu, ibu adalah anak kandungnya,” kata Zaenal lagi.
Diam. Tak ada suara. Mungkin si ibu melepas pandang keluar jendela. Mungkin.
Sambil menarik nafas panjang. Percakapan itu belum juga diputus.
“Baik, baiklah. Kami akan ke situ,” jawabnya singkat. Telepon mati.
***
Selepas dikhianati Irwansyah, Sherly tak
lagi mengenal dirinya dengan baik. Ia
depresi berat. Mahkota kegadisannya
raib, direbut Irwansyah. Bahkan setelah
itu kecantikannya terjual murah
kepada banyak lelaki hidung belang.
Lelaki Pasar Senen menjadi langganannya. Beberapa pemuda
Pondok Kopi ikut menikmati tubuhnya. Tapi, entah kenapa, tubuhnya selalu kelihatan
muda dan mekar kala melahirkan
anak-anak gelapnya. Keajaiban nan indah bagi ayah-ayah pencari suaka.
Ayah-ayah pencari nikmat yang sementara, sebelum akhirnya meninggalkan Sherly
sendiri. Menanggung beban dari kebinalannya.
***
“Ibu, coba renungkan dan pikirkan baik-baik. Tanpa ibu Sherly,
ibu dan saudara-saudara ibu tak mungkin ada di dunia ini. Dia mungkin melahirkan kalian tanpa kehangatan,
tanpa cinta semestinya dari seorang
ibu. Tapi
coba pikirkan, lewat rahim siapakah kalian memiliki kehidupan
ini?” Kata Zaenal memecahkan keheningan.
Ibu Lina dan saudarinya ibu Vita tertunduk menangis. Tak
sanggup lagi mereka berkata-kata, setelah banyak bicara di awal pertemuan. Hanya air mata yang mengalir,
dengan derasnya. Ucapan Zaenal seakan
meremukkan benteng tidak tahu
diri mereka.
Di pojok ruangan, oma Sherly duduk manis sambil ketawa-ketiwi. Sesekali mukanya merengut. Setelah itu, senyum
senyam sendiri. Tak ada yang heran. Ia perempuan depresi sepanjang paruh
hidupnya.
“Bolehkah oma Sherly mendapat maaf karena satu jasa itu?” Kata Zaenal.
***
Siang itu, sukacita memenuhi ruangan tamu Rumah Singgah. Seorang ibu tua mendapat maaf dari anak-anaknya
meski ia sendiri tak tahu apa salahnya.
Lina
dan Vita sadar, tidak ada
yang sebaik ibu yang mau melahirkan kita ke dunia ini. Maka tak ada alasan untuk
tidak memaafkan ibu mereka, betapa pun sisa luka di hati mereka belum sepenuhnya
sembuh. Oma Sherly bagaimanapun tetaplah ibu mereka, terlepas dari banyaknya
luka yang dia sematkan di hati mereka.
Maaf
akhirnya membuat mereka sedikit lega. Mereka menemukan cara terbaik untuk
sedikit demi sedikit menyembuhkan luka di hati mereka.
Di tepi rel Stasiun Senen, senyum kedamaian pun
terpancar. Oma Sherly mendapatkan
maaf dari kedua anaknya untuk hal-hal yang tak lagi ia ingat pasti.
Dan
kini musim semi kembali menjemput
Sherly, meski yang ia tahu bumi telah berlalu. Ini mungkin surga,
setelah ia dimaafkan anak-anaknya.
Yornes Panggur, OFM, biarawan Fransiskan, tinggal di Jakarta
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment