Cerpen
Sastra
Ata Mbeko (Cerpen Marselus Natar)
![]() |
hariansib.com |
Seekor ayam jantan di halaman rumah Pak Doger
menggelepar seperti tengah tertikam panah. Tidak ada satu pun orang yang
mengetahui penyebab mengapa ayam jago itu sekonyong-konyong
menggelepar seperti itu.
Tidak jauh dari tempat ayam jago itu
menggelepar, terlihat dedaunan kering beterbangan dari berbagai arah bagai
ribuan lebah yang sedang berpindah habitatnya dan berkumpul di satu titik
tertentu. Secara mengejutkan, dedaunan itu tiba-tiba membentuk suatu pola yang amat
aneh dan misterius. Pola itu membentuk semacam pusaran air.
Hanya
saja ada sedikit perbedaan
hari ini. Kalau pusaran air biasanya mengerucut dari permukaan
menuju dasarnya,
yang terjadi kali ini berlawanan:
air mengerucut dari tanah menuju angkasa. Keanehan ini
terjadi ketika matahari menunjukkan kecongkakannya dari bubungan angkasa, ketika waktu sudah menunjukkan
pukul dua belas siang.
Gang dipenuhi anak-anak Sekolah Dasar yang
baru saja pulang dari sekolah. Hiruk pikuk keramaian dan kegaduhan suara
anak-anak itu
tidak
menjadi penghalang bagi berlangsungnya peristiwa misterius itu.
Tiga hari yang lalu, hal misterius juga
terjadi dalam tragedi meninggalnya seorang gadis muda, anak semata wayang seorang
pengusaha mebel yang cukup kaya. Kematian gadis itu disebabkan prahara
yang sama sekali tidak masuk akal:
ia
meninggal karena tersedak nasi
saat santap siang.
Kronologi peristiwa itu belum jelas
lantaran tidak ada saksi mata. Berdasarkan pengakuan orang-orang terdekat,
benar bahwa peristiwa
itu tidak disaksikan siapa-siapa,
sebab gadis muda itu sedang seorang diri di rumahnya.
Cerita kematian gadis muda itu belakangan
ini menjadi buah bibir warga kampung, entah di kebun, di tengah jalan, atau di dapur-dapur rumah. Ada
banyak rumor yang beredar, dari yang masuk akal sampai yang berbau mistis. Anehnya,
rumor yang dinarasikan kebanyakan berbau mistis, tentang intervensi poti
wolo dan suanggi dalam kematian gadis muda itu.
Kematian gadis muda itu seolah-olah tanpa intervensi
mutlak dari Sang Pemberi dan Pengambil kehidupan ini. Ya, lain kepala lain
pendapat, lain pengetahuan lain pemahaman. Kematian gadis muda itu berkutat pada
problem mistis sehingga masih dianggap misterius.
Pak Doger adalah putra bungsu kakek Bila
yang dikenal sebagai
ata mbeko atau ata pecing
karena memiliki ilmu gaib yang hebat. Untuk membunuh hewan saja, ia tidak
membutuhkan benda tajam. Ia cukup menunjukkan jarinya ke arah hewan yang hendak
dibunuh.
Tidak hanya itu,
apabila berjalan di tengah hujan yang
deras, badan kakek Bila tidak
pernah basah. Di waktu tertentu, kakek Bila sanggup menjelmakan dirinya dalam
bentuk hewan peliharaan, entah babi, anjing, kambing, kucing dan sebagainya, seturut
kehendaknya.
Saat
ini, usia kakek Bila sudah mencapai seratus lima puluhan tahun. Sebuah usia yang
dapat dikategorikan sebagai usia
manusia
terpanjang di muka bumi ini. Atas usia yang dicapainya ini, warga kampung sedari
dulu menaruh curiga bahwa ia memperpanjang usianya dengan cara yang mengerikan, yaitu dengan mengarahkan segala
malapetaka yang hendak menimpanya kepada orang lain di kampung itu sebagai
tumbal pengganti dirinya. Ia melakukan ritual kando dan pendo kepada
orang lain agar dirinya selamat. Demikianlah warga kampung yakin dengan cerita yang dituturkan
dari mulut ke mulut itu.
Tragedi meninggalnya seorang gadis muda,
anak perempuan semata wayang seorang pengusaha mebel itu pun dicurigai sebagai buah
dari ritual kando dan pendo kakek Bila. Pada malam menjelang
kematian gadis muda itu, beberapa warga yang pulang dari nonton televisi di sebuah rumah orang kaya di kampung itu memergoki
kakek Bila sedang mondar-mandir di halaman
rumahnya. Beberapa pemuda menghentikan langkah kaki mereka dengan tujuan mengamati tingkah kakek
Bila.
Alhasil, mereka menyaksikan sebuah
keanehan. Kakek Bila melakukan ritual yang tidak mereka paham, persis di bawah bundaran naga tempat
segala sesajenan di tempatkan untuk arwah para leluhur.
Salak anjing bersahutan di tengah kampung.
Suara burung gagak dan burung hantu begitu lembut dan merdu, laksana kumandang
gong dan gendang berdendang menyambut kedatangan pengantin baru dalam tradisi Manggarai.
Setelah melakukan ritual itu, kakek Bila berkali-kali
mengacungkan tangannya ke udara,
lalu perlahan turun sembari menunjukkan jari telunjuknya ke beberapa rumah
warga. Beberapa pemuda itu mengakui bahwa apa yang mereka saksikan adalah
sebuah keanehan. Lantaran aneh, beberapa pemuda itu perlahan meninggalkan tempat
itu,
lalu bergegas pulang ke rumah mereka masing-masing. Dalam perjalanan pulang, seorang pemuda
berbisik kepada seorang pemuda lainnya
di
sampingnya bahwa akan
ada sebuah peristiwa yang memilukan setelah ini.
***
Hari tengah garang dan ganas dari tempat peredarannya.
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, di mana kebanyakan orang tengah
melakukan santap siang. Demikian pun gadis cantik, putri semata wayang seorang
pengusaha mebel itu.
Nahasnya, maut
membujuk dan membawanya pergi
siang ini. Ia tersedak, lalu mati mengenaskan. Remah-remah
nasi seolah-olah menjadi racun maut yang memisahkan dirinya dari orang-orang
terdekatnya.
Ia pulang kepada Pemberi Kehidupan tanpa
seuntai pun kata
wasiat. Separuh
nasi dalam piringnya seolah memberikan berlaksa pesan: kematian datang tanpa sebuah tanda, tanpa bisa ditunda walau
masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, walau umur masih seusia jagung,
walau mimpi belum sempat tergapai.
Ayah gadis muda itu kebingungan. Tingkahnya kini seperti orang linglung. Beberapa
mulut membuntut telinganya bermaksud menghasut.
Beberapa hari kemudian, amarah tukang
mebel itu membara. Segala kata hasutan menyulut murka angkaranya. Sebagai
pengusaha sukses, ia menyampaikan idenya kepada bawahannya agar sesegera
mungkin mencari ata pecing atau ata mbeko di berbagai daerah guna
membunuh kakek Bila.
Alhasil, beberapa bawahannya menemukan
seorang ata mbeko dari sebuah daerah yang cukup terkenal dengan dunia
sihirnya. Setibanya di rumah pengusaha mebel itu, ata mbeko itu menanyakan
maksud dan
tujuan mengapa ia diundang ke rumahnya. Pengusaha mebel itu mulai mengutarakan maksudnya
hingga pada akhirnya ata mbeko itu menyimpulkan pembicaraannya, dan menawarkan apakah nyawa dari
pelaku di balik
kematian putrinya itu mau direnggut atau tidak.
Pengusaha mebel itu sontak menjawab “ya”. Bagaimana pun, katanya, nyawa harus diganti
dengan nyawa.
Maka diambilnyalah ceca dari mbere
dari punggung ata mbeko itu, lalu digelarnya di atas tikar di rumah itu. Sebuah
ceca berbentuk taring babi bergerak dan melompat-lompat di atas tikar. Sementara itu, serentak kata
terucap dari mulut ata mbeko itu, “bunuh dia!”
Ritual itu dilangsungkan menjelang
matahari membentuk horizon di angkasa. Beberapa saat kemudian,
sekonyong-konyong terdengarlah suara ratap tangis dari sebuah rumah yang
jaraknya tidak jauh dari rumah pengusaha mebel itu. Seorang anak kecil berlari-lari
di gang kampung sembari berteriak,
“kakek
Bila meninggal!”.
Beberapa warga memilih berdiam diri dalam
rumah mereka. Seorang lelaki paruh baya dengan langkah tergontai menyusuri gang
kampung dengan sebatang rokok yang terbuat dari daun lontar di tangannya. Tidak
ada orang pun yang
melayat di rumah duka. Sebab semua orang tahu, siapa sosok kakek
Bila itu.
Keterangan:
Poti wolo, suanggi: Sebuah
sebutan dalam bahasa Manggarai (Flores-NTT)
untuk
setan atau makhluk halus.
Ata pecing atau
ata mbeko: Orang yang memiliki kemampuan dalam dunia supranatural, orang
pintar atau dukun.
Kando dan
pendo: Sebuah ritual untuk menolak bala atau malapetaka. Secara harfiah,
kando berarti mendorong atau membuang,
pendo berarti mengarahkan atau mengalihkan.
Naga: Sebutan dalam bahasa Manggarai untuk sebuah tempat
di mana sesajen ditempatkan, semacam Dolmen.
Ceca: Pernak-pernik
yang diyakini memiliki kekuatan gaib dalam praktik perdukunan. Biasanya berupa
akar kayu, batu, taring hewan, bulu hewan.
Mbere: Sebuah
wadah berukuran kecil dari anyaman tembikar yang digunakan untuk menyimpan rokok,
sirih pinang.
Marselus Natar, seorang biarawan Katolik. Selain
sebagai penulis cerpen lepas, ia juga seorang penyuka sastra, penikmat kopi, dan penyuka dere
nenggo, nyanyian rakyat Manggarai. Beberapa Cerpennya pernah
dipublikasikan di media Pos Kupang, Flores Pos, Horizondipantara,
majalah OIKOS. Sekarang
tinggal dan menetap di Komunitas St. Aloysius, Ndao, Ende, Flores.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment