Humaniora
Religi
Agama Tidak Mati Gaya
![]() |
hidupkatolik.com |
Joan Udu
Di tengah masifnya ekspansi covid-19,
agama-agama dituntut untuk menyesuaikan diri. Upacara-upacara keagamaan yang
biasanya dilakukan secara rutin dan meriah di rumah-rumah ibadah terpaksa
ditiadakan. Situasi darurat covid-19 menuntut umat beragama untuk berpuas diri
dengan beribadah dari rumah. Entah sampai kapan ini berlanjut, belum ada
kepastian benderang hingga saat ini.
Situasi tak pasti ini, menurut Romo Max
Regus, dalam opininya di Media Indonesia (9/4/2020) berjudul “Agama Mati
Gaya”, membuat “agama seolah tidak lagi mengenal dirinya”. Rumah ibadah, lanjut Romo Max, berdiri seperti
rongsokan-rongsokan tak berguna di medan perang. Agama-agama terguncang dan
terpaksa takluk di bawah hukum dan metode khusus covid-19.
Secara sepintas,
pendapat macam ini ada benarnya, terutama kalau kita memahami agama hanya sebatas
fenomena sosial atau sekadar konstruksi simbolik berupa rumah ibadah. Atau
agama yang menemukan esensinya sejauh menampilkan diri dalam tata ritual
kolektif di tempat-tempat ibadah. Suatu pemahaman agama yang fungsional, yang
melihat agama sekadar sebagai ikatan kolektif yang dikukuhkan melalui
ritual-ritual keagamaan yang semarak.
Konsep agama macam
ini mirip dengan teori sosiologi agama Emile Durkheim (1858-1917) dalam bukunya
The Elementary Forms of The Religious Life (1912). Bagi Durkheim, agama
tak lebih dari entitas sosial yang berfungsi untuk merekatkan solidaritas
kelompok dan mengukuhkan kohesi sosial di dalam masyarakat. Ritual keagamaan
yang rutin dan meriah, yang melibatkan banyak massa, memainkan peranan sentral di
sini. Agama, sebagai entitas sosial, tampak begitu kuat dan kokoh dalam ritual
keagamaan yang massal itu.
Namun, perlu
diingat, konsep agama Durkheim ini sangat reduksionistik. Ia mereduksi “yang
religius” dan “yang transenden” dalam agama hanya sebagai “yang sosial” belaka.
Seakan-akan ibadah keagamaan yang tidak melibatkan massa atau yang tidak
dijalankan secara kolektif di tempat ibadah tidak mencerminkan hakikat agama
yang sesungguhnya. Atau dalam bahasa Romo Max Regus dalam opininya, membuat agama mati
gaya.
Agama Mati Gaya
(?)
Kita memang akui,
agama-agama di masa pandemik ini kesulitan melaksanakan model ritual keagamaan konvensional,
yang meriah dan melibatkan banyak jemaat. Buktinya, hampir semua agama saat ini
meniadakan rangkaian ritual keagamaan yang mengumpulkan massa. Para pemimpin
agama menganjurkan jemaatnya untuk menghindari kontak fisik dan perjumpaan
langsung di rumah ibadah, sebagai bentuk dukungan dan kerja sama dengan
pemerintah.
Karena itu,
perayaan Nyepi umat Hindu dan perayaan Paskah umat Kristen berlalu tanpa melibatkan
massa. Demikian pun sekarang ini, saat umat Islam mengarungi bulan suci
Ramadan, protokol khusus covid-19 tetap diindahkan. Majelis Ulama Indonesia
(MUI), misalnya, sudah mengeluarkan Fatwa (nomor 14 tahun 2020) yang secara
khusus menganjurkan umat Islam untuk menghindari kontak fisik, melakukan
penjarakan sosial (social distancing), menghindari salat Jumat di
masjid, dan meniadakan ritual-ritual massal lainnya (tarawih, sahur bersama,
buka puasa bersama, dll).
Pandemi covid-19
mendesak agama-agama untuk sedapat mungkin menghindari hingar-bingar ibadah
yang melibatkan massa. Rumah-rumah ibadah akhirnya sepi pengunjung.
Ritual-ritual keagamaan tak terdengar gemanya. Umat beragama tak bisa berbuat
lain selain menjalankan ibadah dari rumah.
Mereka tahu, itulah
pilihan terbaik saat ini, demi kesehatan dan demi kebaikan bersama sebagai satu
negara-bangsa. Mereka membuat suatu keputusan besar dan berani, sekalipun
berat, demi mewujudkan kepentingan yang lebih besar. Mereka rela menjalankan ibadah
dan upacara penting keagamaan mereka dalam kesunyian di rumah dan mengikhlaskan
rumah-rumah ibadah mereka sepi dari pemeluknya. Mereka melakukan semua itu
dengan sadar dan penuh tanggung jawab.
Lalu, apakah agama-agama
melakukan itu karena sudah mati gaya? Saya kira tidak. Agama sama sekali tidak
mati gaya. Agama justru sedang bergaya dengan model baru, dengan cara yang
mungkin tak terbayangkan sebelumnya.
Apa yang dilakukan
agama-agama saat ini adalah sebuah proses penyesuian, agar masih bisa eksis dan
“bergaya” di tengah situasi krisis. Ini menunjukkan, agama-agama kita cukup dinamis
dan adaptatif, tidak kaku dan apatis di hadapan realitas konkret.
Agama membuka diri
pada masukan para ahli sains, mendengarkan saran para tenaga medis, dan mau
bekerja sama dengan pemerintah untuk mengakhiri pandemi ini. Itu artinya agama kooperatif,
tidak egois dan keras kepala.
Bijak dan
Realistis
Pemimpin agama bersikap
bijak dan realistis manakala menganjurkan para jemaatnya untuk beribadah dari
rumah. Anjuran ini sangat masuk akal, mengingat daya jangkit covid-19 tidak
pernah pandang bulu, entah orang beragama atau tidak beragama, laki-laki atau
perempuan, orang miskin atau orang kaya, dan seterusnya. Agama tidak mau
ceroboh dengan meremehkan keganasan covid-19.
Agama tahu gaya
apa yang paling cocok, relevan, dan realistis di tengah situasi pandemik ini.
Ia mempunyai daya lentur untuk menjinakkan tanda-tanda zaman. Dan persis
hal inilah yang membuat agama mampu bertahan dari abad ke abad, dalam setiap proses
perubahan sosial dan peralihan peradaban manusia. Ia selalu mampu menyesuaikan
diri dengan luwes, tanpa kehilangan esensi dan dasar keberadaannya.
Di tengah pandemi
ini, orang-orang beragama bahkan terbukti tegar. Iman mereka terlatih, harapan
mereka terawat dengan baik, dan cinta mereka kepada yang lain kian kokoh
melalui pelbagai aksi solidaritas kemanusiaan yang mengagumkan. Mereka tidak
pernah kehabisan gaya di tengah pandemi ini.
Mereka memang tidak
berkumpul di rumah-rumah ibadah, tetapi kehadiran dan kerja sosial mereka di
tengah dunia yang krisis sangat nyata. Itu karena iman keagamaan mereka tidak
sekadar fenomena sosial belaka, seperti dikatakan Durkheim, tetapi sungguh
merupakan ungkapan cinta yang dalam kepada Yang Mahatinggi.
Cinta itu
diungkapkan dalam banyak gaya, termasuk melalui aksi-aksi sosial-kemanusiaan di
tengah pandemi ini. Maka, iman agama pada akhirnya harus membawa dampak sosial bagi
dunia sekitar, dan tidak boleh berhenti hanya pada ritual-ritual keagamaan yang
rutin dan meriah. Selamat mengarungi bulan suci Ramadan bagi semua yang
merayakannya dan selamat membawa dampak sosial yang positif bagi yang lain!
Previous article
Next article
Keren tulisannya kae Fr.
ReplyDelete