Gagasan
Obral Ide
Arti Sebuah "Nemba": Curahan Hati Seorang Seminaris
![]() |
facebook faldy burga |
Oleh: Faldy Burga*
Kami
harus pulang kampung. Tak ada pilihan yang jauh lebih baik dari itu. Jika saja
kami membandel, maka sebuah petaka mengejar kami dengan sayap-sayap mautnya.
Tahun
ini, tahun 2020, memang sungguh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika biasanya
kami berlibur sekolah setiap bulan Desember dan Juni, kali ini kami harus
membuat sesuatu yang baru dan tak lazim, yaitu libur pada bulan Maret. Memang agak
enggan untuk berlibur, sebab kami belum puas belajar di semester ini. Tapi, apa
boleh buat, tak ada pilihan lain kali ini selain libur.
Mungkin
kalian bertanya, kok liburannya begitu cepat. Ya, saya sudah menebak pertanyaan
itu. Tapi, sebelum saya menjawab, saya yakin kalian juga sudah tahu jawabannya.
Di
mana-mana sekarang, seperti kalian tahu, ada nemba. Atau kalian belum
tahu nemba? Ah, kalian mesti belajar Bahasa Manggarai, Flores. Nemba
itu istilah lain dari ‘wabah’ atau yang lebih keren lagi ‘pandemi’. Kalau belum
tahu apa itu wabah atau pandemi, aihh saya anjurkan kalian banyak baca
koran atau portal berita online.
Nemba
itu, yang saat ini sudah tersebar di mana-mana, bernama Covid 19. Selama hidup
saya, tidak ada nemba yang lebih berbahaya dari nemba Covid 19
ini. Nemba ini sangat menakutkan. Bahkan, orang-orang di kampung, yang
belum terlalu paham soal nemba ini, juga ikut ketakutan.
Saking
hebat dan berbahayanya nemba ini, sekolah kami harus diliburkan lebih
awal dari sebelumnya. Itu karena kami juga takut diserang nemba ini. Maka,
tidak ada pilihan lain selain libur.
Saya
sendiri, dan juga teman-teman saya di sekolah, tidak pernah berpikir kalau
liburan kali ini jauh lebih cepat dari sebelumnya, sebab sejak awal semester
kami sudah mempunyai kalender pendidikan yang jelas dan sistematis. Apalagi di
awal bulan April ini kami memiliki agenda besar, yaitu Paskah bersama. Ini
acara yang kami tunggu-tunggu setiap tahun, sebab kesibukan menjelang acara
besar ini selalu mengasyikkan: latihan kor, latihan tablo (jalan salib hidup),
latihan prosesi Paskah, dll.
Tapi
kali ini kami harus rela untuk membatalkan semua itu. Liburan karena nemba
atau juga biasa kami sebut liburan Corona membuat kami harus merayakan Paskah
dalam kesenyapan di rumah kami masing-masing. Maka, sekali lagi, tidak ada
pilihan lain selain libur, sebuah liburan yang datang tiba-tiba dari langit.
Kami
harus pulang kampung, pulang ke rumah masing-masing. Tapi berbeda dari liburan
sebelumnya, kali ini kami membawa banyak tugas sekolah ke rumah. Para guru
meminta kami belajar di rumah dan menyelesaikan semua tugas itu di rumah. Namun,
itu tidak menjamin kami akan belajar serius di rumah. Apalagi judulnya liburan,
rasanya sayang kalau dilewatkan setengah-setengah.
Ada
guru yang menganjurkan kami untuk belajar secara online. Tapi, bagi saya
sendiri, ini lucu, sebab bagaimana mungkin saya yang adalah anak kampung kek
(kampung yang kolot dan jauh dari hingar bingar kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi) belajar secara online, sementara aliran listrik belum masuk di
kampung saya, apalagi jaringan internet.
Semoga
pemerintah di daerah ini mendengarkan keluhan saya ini, supaya kami bisa ikuti
saran guru-guru kami untuk belajar online. Semoga melalui nemba besar
ini, pemerintah daerah kami jauh lebih jeli dan peka melihat kebutuhan
rakyatnya, terutama kami anak-anak sekolah yang berasal dari kampung kek
ini.
***
Kami
pulang kampung menumpangi oto kol (bus kayu yang banyak digunakan di
Manggarai). Dalam perjalanan, hati saya yang sering resah karena melihat begitu
meluasnya penyebaran nemba Covid 19, dihibur sedikit demi sedikit oleh
pemandangan yang indah dan memesona. Perjalanan ini memang melelahkan, apalagi
menempuh jejalanan yang rusak parah yang hanya diperbaiki menjelang Pemilu oleh
pemerintah atau oleh anggota Dewan, tapi alam yang indah membuat suasana perjalanan
jadi asyik.
Namun,
setelah beberapa jam menempuh perjalanan, cuaca mulai tidak bersahabat. Mendung
yang kelam kemudian disusul hujan, yang seakan menjemput kami dengan sepasang
tangan yang lembut dan dingin. Alam seakan menangis melihat kami terus diintai nemba
dan akhirnya diliburkan lebih cepat dari sekolah. Atau mungkin ini cara dia
menyejukkan hati kami yang resah, takut, dan cemas oleh nemba yang makin
parah.
Singkat
cerita, saya akhirnya tiba di kampung tercinta, juga disambut oleh hujan.
Bahagia rasanya bisa kembali lagi ke kampung, meskipun kali ini harus membawa
banyak tugas dari sekolah.
***
Keluarga
saya belum tahu banyak hal tentang Covid 19 yang fasih mereka sebut sebagai nemba.
Maka saya pun merasa berkewajiban untuk menjelaskannya. Mereka tidak terlalu
serius memikirkan nemba yang membuat semua sekolah di negeri ini libur. Ada
hal yang jauh lebih penting untuk mereka pikirkan setiap hari: kebun, sawah, dan
masa depan anak mereka. Kesehatan juga dipikirkan, tapi obat-obatan tradisional
di kampung terlalu banyak, sehingga mereka tidak terlalu mengkhawatirkan kesehatan.
Alam
sudah mendidik mereka untuk hidup sehat. Alam juga sudah menyediakan semua hal
yang mereka butuhkan untuk memulihkan kesehatan. Mungkin karena itu mereka
tidak terlalu mencemaskan nemba yang bernama Covid 19 itu.
Saya
senang menikmati hari-hari libur Corona di kampung. Udaranya segar, pemandangan alamnya
indah permai, dan orang-orang pada umumnya ramah. Ini sejenak membuat saya
melupakan nemba Covid 19.
Malam
pertama di kampung saya habiskan dengan bercerita tentang pengalaman saya di
sekolah, tentang apa yang saya pelajari, dan tentang teman-teman yang saya
jumpai. Orangtua dan sanak keluarga saya begitu semangat mendengarkan
cerita-cerita seru saya. Ini yang selalu membuat saya merindukan keluarga, dan
kali ini, berkat nemba Covid 19, kerinduan itu terbayar. Saya senang sekali berada di tengah-tengah keluarga.
Pada
malam kedua, saya sudah mulai merasa kesepian. Apalagi sorenya hujan sehingga
malam harinya kampung kami diselimuti kabut. Dingin juga menusuk. Itu makanya orang-orang
tidur lebih cepat di sini, belum lagi sudah lelah sepulang dari kebun, setelah
bekerja keras seharian.
Kesepian
ini membuat saya merindukan suasana di asrama sekolah yang tidak pernah sepi. Saya
pun mulai mengingat-ingat pengalaman menarik di asrama. Aneka pengalaman itu
datang silih berganti, melayang-layang di benak saya, dan bikin saya tersenyum sendiri.
Antara kampung dan asrama sekolah, saya tersenyum-senyum, entah kenapa. Saya
hanya merasa, saya harus tersenyum, setelah beberapa hari resah memikirkan nemba
besar ini.
Nemba
Covid 19 membuat semuanya berubah mendadak dan “tiba-tiba”: tiba-tiba libur
sekolah, tiba-tiba pulang kampung, tiba-tiba berada di tengah keluarga,
tiba-tiba kesepian, tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba rindu. Tapi saya tidak tahu
sedang merindukan apa atau siapa saat ini.
Di
tengah kesepian yang mencekam, saya melihat sosok seorang pria yang
tingginya hampir sama dengan saya. Ia berjalan dengan anggun menuju teras rumah
saya. Setelah saya perhatikan dengan seksama, saya pun sadar, ternyata dia
sahabat akrab saya sewaktu Sekolah Dasar (SD). Kami dulu sering bersama-sama
pergi berenang di sungai, mencari kayu bakar, serta pergi berburu tikus di
sawah. Saya menyambutnya dengan ramah dan mulailah kami bernostalgia untuk
memecahkan kesepian malam.
Suasana
malam semakin hangat ketika ibu tiba-tiba membawakan kami kopi. Ibu rupanya
tahu apa yang paling baik dan menarik untuk menemani cerita. Ya, tak lain dari
kopi. Tapi bukan kopi biasa, melainkan kopi Manggarai yang nikmatnya bisa menghangatkan
tubuh. Kopi pun membuat kami semangat bercerita tentang masa lalu.
Ada
begitu banyak kisah yang kami bangkitkan kembali, yang menjadi kekuatan bagi
kami untuk terus melangkah maju. Kenikmatan kopi khas kampung kami membuat
kisah-kisah itu mengalir satu demi satu seiring tegukan kopi yang kami seruput
perlahan. Nemba Covid 19 membuat kami merasakan pentingnya pulang
kampung, bertemu satu sama lain, bercerita, dan mengenang masa lalu. Kami serasa
merayakan kenangan pada malam itu walau hanya dengan secangkir kopi.
Nikmatnya
kopi dari kebun sendiri ini kurang lebih menggambarkan indahnya masa lalu kami.
Setelah beberapa lama memaknai pengalaman demi pengalaman masa lalu, tak terasa
kopi di cangkir kami hampir habis. Banyak cerita yang kami tuntaskan bersamaan
dengan tegukan-tegukan kopi itu. Kini cerita-cerita itu hampir rampung seiring
habisnya kopi di cangkir.
Namun, di dasar cangkir, ada hal yang masih tersisa untuk kami rayakan terus sepanjang hidup kami, yaitu haru, syukur, dan bahagia. Semua itu bercampur aduk di dasar cangkir. Kami kemudian menyimpan semua perasaan itu di dalam hati seiring tegukan terakhir kami yang betul-betul menuntaskan bagian masing-masing. Maka, sempurnalah perjumpaan kami malam itu.
Namun, di dasar cangkir, ada hal yang masih tersisa untuk kami rayakan terus sepanjang hidup kami, yaitu haru, syukur, dan bahagia. Semua itu bercampur aduk di dasar cangkir. Kami kemudian menyimpan semua perasaan itu di dalam hati seiring tegukan terakhir kami yang betul-betul menuntaskan bagian masing-masing. Maka, sempurnalah perjumpaan kami malam itu.
Setelah
itu, masih ada cerita tambahan yang menjadi sesi penutup perjumpaan kami malam
itu, seperti cerita tentang tempat bermain kami semasa kecil, cerita tentang
telaga tempat kami berenang dulu yang sudah penuh dengan sampah plastik, cerita
tentang kali dan sungai yang sudah kotor dan tercemar, dan juga cerita tentang
hutan yang sudah gundul. Kami menyayangkan semuanya itu sebelum akhirnya
bersepakat untuk mengakhiri pertemuan malam itu.
***
Saya
kemudian berpikir, mungkin nemba Covid 19 ini adalah sebuah cara alam
untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Ia mendesak kita untuk tinggal di rumah
saja selama beberapa waktu agar ia bisa memulihkan dirinya sendiri:
membersihkan kembali udara yang tercemar polusi, menjernihkan kembali air di kali
dan sungai yang sudah kotor karena limbah, memperbaiki alam yang sudah rusak,
memurnikan kembali tanah dari racun kimia, dan mengembalikan kesadaran manusia untuk
merawat alam dengan penuh tanggung jawab. Alam mau supaya semuanya kembali
seperti semula, dan terutama agar manusia bertobat dari kerakusannya.
Nemba Covid 19 ini membuat manusia tidak ada apa-apanya. Manusia bisa mati kapan saja oleh nemba ini. Ini seharusnya membuat manusia sadar akan kekecilannya di tengah alam raya ini. Manusia harus berubah dan hidup lebih bijak lagi di dalam alam. Kalau tidak, tinggal tunggu waktu manusia dibikin punah oleh nemba-nemba yang lain yang datang dari alam.
Nemba Covid 19 ini membuat manusia tidak ada apa-apanya. Manusia bisa mati kapan saja oleh nemba ini. Ini seharusnya membuat manusia sadar akan kekecilannya di tengah alam raya ini. Manusia harus berubah dan hidup lebih bijak lagi di dalam alam. Kalau tidak, tinggal tunggu waktu manusia dibikin punah oleh nemba-nemba yang lain yang datang dari alam.
Entah kenapa, pengalaman
liburan Corona ini menyadarkan saya akan semua itu, terutama ketika mengalami
kesunyian yang mendalam di kampung ini. Nemba Covid 19 menyadarkan saya
akan pentingnya sebuah kehidupan, bukan hanya kehidupan saya sendiri,
tetapi kehidupan semua makhluk di alam ini. Saya diingatkan untuk tidak egois.
Saya harus peduli pada orang lain di sekitar saya, keluarga saya, kampung saya,
dan alam sekitar yang selalu memberikan pemandangan indah dan memesona kepada
saya. Apakah kalian juga berpikir seperti itu? Entahlah, itu urusan kalian. Tapi, bagi saya, itulah arti terbesar dari nemba mese (wabah besar) yang bernama Covid 19 ini.
Tapi, ngomong-ngomong, jam sekarang sudah menunjuk pada angka 12, dan itu artinya sebentar lagi hari
baru tiba. Saya harus istirahat
sekarang, sebab esok harus ke kebun. Selamat malam jagat raya, selamat
menyembuhkan dirimu sendiri!
*Faldy Burga, Siswa Kelas X SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment