Cerpen
Sastra
*Yornes Panggur, OFM, imam dan biarawan Fransiskan, kini bermukim di Jakarta.
Di Ujung Musim Semi, Bagian 1 (Yornes Panggur, OFM)
![]() |
koreatraveleasy.com |
(Bagian 1)
Butir-butir embun pagi di pagar
gerbang memantulkan cahaya mentari nan indah. Anak-anak berlari menuju gerbang
sekolah. Becak-becak selalu laris setiap pagi mengantar anak-anak sekolah.
Selain itu, setelah rumah beres, satu per satu ibu-ibu muda nongol dan mejeng
di depan sekolah ini. Sekitar pukul 08.00, bang Sofyan tiba dengan gerobak
baksonya.
Rumah Singgah Frati Minori berada
tepat di depan gerbang sekolah itu. Di sana, tampak seorang perempuan tua duduk
ditemani seorang pemuda.
Sehelai senyuman sejuk keluar dari
wajah keriput lembut Oma Sherly. Sang perempuan tua ini duduk berharap di
tengah pusaran waktu yang terus mengitarinya.
“Dulu, oma bekerja di sebuah hotel di
samping Pasar Senen,” ungkapnya sepi.
***
Sekitar 30 tahun lalu, kala musim
hujan berakhir, pucuk-pucuk daun bersemi. Embun kabut pagi menemani Sherly
berkemas berangkat kerja. Gadis asli Jepara itu tinggal di sebuah kontrakan
yang disewa 100 ribu per tahun. Itu harga kelas eksekutif di masanya.
Lipstik merah hati ayam membalut
bibirnya yang tipis. Wajahnya tampak cantik. Bedak tipis dipoles sempurna di wajahnya,
namun tidak menambah setitik pun pada kecantikannya yang bening dan murni.
Rambut lembut lurus nan hitam
dibiarkan terurai di pundaknya. Angin sepoi sudah cukup mengganggu helai-helai
rambutnya. Beberapa senyuman bahagia sempat terekam pagi itu.
“Ehmm...pasti mau diajak makan siang
lagi ya sama pak Irwan, bener kan?” tanya Sinta, dara manis asal Lampung.
***
Namanya Irwansyah. Biasa dipanggil
Irwan. Penampilannya sangat berwibawa. Kumisnya selalu dicukur tipis. Tak
pernah panjang. Ia manajer di kantor Bank Mandiri cabang Senen.
Dari jendela ruangan kerjanya, pak
Irwan selalu mengamati Sherly, karyawati hotel di seberang itu. Dari
pengamatan, muncullah perasaan. Dari perasaan timbulah pengungkapan isi hati.
Dari pengungkapan turunlah penderitaan karena rindu. Cinta itu entimemik. Cinta
juga repot dan siapakah yang bisa tahan rindu?
***
Sherly tak bisa lupa 3 malam yang
lalu. Kamar 143 Lumire Hotel menjadi surga nan romantis. Cerah biru dinding
kamar melengkapi keluhuran dan kepolosan cinta Sherly. Gadis Jepara itu
memberikan seluruh dirinya dalam dekapan kembang mawar merah Irwan. “Aku
mencintaimu,” dua kata penutup yang dibisikan bulan di telinga Sherly. Malam
hanya milik mereka. Hujan memainkan orkestra.
Keesokan malamnya, di pojok la'
France, sepasang kekasih itu menikmati anggur Victoria. Kata-kata gombal
Irwan berpadu sempurna dalam alunan Slow-Jazz. Ia mencium tangan Sherly. Air
mata bahagia menumpuk di pelupuk mata sebelum akhirnya petir menyambar tak
kenal pagi.
“Dasar wanita jalang!!!
Mentang-mentang cantik seenaknya merebut suami orang!!!” bentak si nyonya
sosialita itu. Bak tikus basah, Irwan terdiam di depan isterinya. Sherly segera
meninggalkan hotel sembari menahan luka di hatinya. Ia menangis hingga pagi.
Setiap pagi.
Musim hujan berlalu. Semestinya semi
menyambut. Kini dan selamanya hanya ada kemarau di jiwa. Sherly meratapi
kehidupannya tanpa ada yang mendengar. Oh, semesta tak seiring gundah gulana jiwanya.
Perempuaan pujaan Gunung Muria itu
menikmati musim senja di ujung musim semi. Pucuk-pucuk kembang mekar merah tua.
Daun-daun muda kering berguguran. Selamanya hanya akan ada musim gugur, bisik
batin Sherly di kuping jiwanya. Air mata menetes hingga ke lubuk hatinya. Tak
ada obat penawar cinta.
***
Kini, Sherly berusia 70 tahun. Ia
merana dalam kegalauan jiwa berat yang tak tersembuhkan. Kala muda,
kecantikannya tak tertandingi ukiran maha karya para seniman pahat Jepara.
Kini, Sherly tinggal dalam kebahagiaan yang tak dipahaminya.
Garis-garis keriput di wajahnya masih
disembunyikan di balik bedak. Bibirnya yang tak berhenti bergetar selalu tampak
merah merekah dibalut lipstik. Oma Sherly sakit jiwa. Ia tak tahu bahwa tinggal
daster tua nan lusuh membungkus kulitnya.
“Kalau aku ketemu lagi sama Mas
Irwan, aku akan tagih janjinya..hihi.. Nanti 10 juta untuk frater Sevi, 10 juta
untuk Rumah Singgah, dan 10 juta untuk aku,” kata Oma Sherly di pendopo Rumah Singgah
Frati Minori.
Seakan tak ada jarak, ia bahagia
sekali dalam kepalsuan janji Irwansyah, cinta masa lalunya. Ia berharap pada
janji meski banyak simpul kisah cintanya tak ia ingat lagi.
Hari Senin minggu depan sangat
dinantikan. Oma Sherly tak sabar lagi berjumpa Mas Irwan. “Yesss...akhirnya aku
bisa ketemu sama Mas Irwan, hihihi...,” guman manja Oma Sherly kala frater Sevi
menjanjikan akan mengantar beliau bertemu ‘sang manager’ di Mandiri Tower,
Kebon Sirih.
Oma Sherly mengatupkan tangan di
dada. Matanya terpejam memandang syahdu jauh menembus daun-daun mahoni di
halaman sekolah itu. Senyum rindu terukir di bibirnya. Rindu buta pada mantan
kekasih. Rindu yang selalu merindu pada cinta yang meluka. Ia sama sekali tak
tahu kalau kekasih masa lalunya itu sudah tiada.
Cerpen ini mengenangkan
perjalanan hidup Oma Irene dan perjuangan tulus Sdr. Jojon, OFM. Jika ada
kesamaan nama, maka itu hanya kebetulan belaka.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment