Lain-lain
Tips
Belajar Hidup Taat Pada Yesus: Renungan Jumat Agung (Fr. Rio Edison, OFM)
![]() |
geotimes.co.id |
Kata yang kiranya menggambarkan
situasi Bumi selama sebulan terakhir adalah sepi. Para ahli ilmu geologi dan
antariksa mencatat adanya penurunan “frekuensi kebisingan” dari Bumi.
Benar
saja, jalanan di kota-kota besar telah menjadi sepi, tempat-tempat wisata sepi
pengunjung, tempat-empat publik lengang, perusahaan-perusahaan meliburkan atau
bahkan memecat pegawainya, sekolah dilakukan dalam bentuk pembelajaran jarak jauh,
dan lain sebagainya. Aktivitas manusia jauh berkurang dibandingkan dari
biasanya. Dalam kesepian itu, terpampang jelas penderitaan umat manusia abad
dua puluh satu ini.
Pandemi Covid-19 menjadi penyebab
penderitaan itu. Tentu ada banyak sumber penderitaan di dunia ini, namun virus korona
telah menjadi “hantu” dengan pola penyebaran yang cepat antarmanusia. Virus korona
telah menyebarkan ketakutan dalam skala global, entah bagi warga negara maju entah
bagi negara yang dipenuhi oleh konflik sosial-politik.
Korona menjadi sumber ketakutan
karena berjasad renik, tidak kasat mata, tidak diketahui kapan ia “bermigrasi”
dari satu tubuh ke tubuh lain, namun hampir pasti menimbulkan kematian. Hampir seratus
ribu manusia di seluruh dunia meninggal akibat wabah ini. Lebih dari satu
setengah juta manusia terjangkit. Jumlah kemungkinan besar akan terus bertambah.
Kisah tragis tidak hanya sampai di
situ. Para korban dimakamkan dalam kesunyian tanpa ditemani kerabat atau tanpa
diiringi lantunan doa-doa lantang. Pada beberapa tempat di Indonesia, jasad
mereka ditolak. Sejumlah negara dengan jumlah korban luar biasa mengalami
kebingungan untuk menguburkan jenazah.
Para petugas medis juga ditolak oleh
lingkungannya. Di Rumah Sakit, mereka adalah penyelamat, tapi di lingkungan
masyarakat, mereka dicurigai sebagai penyebar virus.
Berimbas pada agama,
perayaan Paskah tahun ini menjadi hari raya tanpa perayaan. Gereja sepi
pengunjung. Para imam merayakan hari imamat dalam sunyi. Kisah Sengsara Yesus
tidak lagi didengar secara live pada
tempat yang sama. Sungguh, virus korona telah merobek-robek pelbagai macam
aspek sosial kehidupan manusia, mulai dari urusan kelahiran sampai urusan
kehidupan kekal.
Agar selamat, manusia harus soliter.
Ia harus terpisah dengan yang lain sehingga peluang keselamatan dirinya sendiri
dan orang lain semakin besar. Namun, pada sisi lain, keadaan ini menghadapkan
manusia pada suatu situasi yang tidak ingin dimasukinya, yaitu kesepian. Bukan
hanya kesepian lantaran berjarak dengan sesamanya, melainkan juga situasi
internal yang disebut sebagai kesendirian.
Kesendirian tidak menciptakan
kenyamanan, tetapi malah menimbulkan berbagai bentuk kecemasan: terinfeksi
penyakit ketika harus keluar dari rumah, berjarak dengan sahabat, kekurangan
stok bahan pangan, kantong menipis, diberhentikan dari pekerjaan, jenuh
beraktivitas pada ruang sempit, dan lain sebagainya. Ia menjadi terasing dengan
dirinya sendiri dan orang lain. Pada kesendiriannya itu, manusia berusaha mengelak
dan menyangkal keadaan melalui berbagai bentuk pelarian yang menyenangkan.
Menjelang akhir hidup-Nya, Yesus
mengalami situasi serupa. Sejak malam perjamuan terakhir, kesendirian sudah
mulai dirasakan oleh Yesus. Dalam keheningan doa di taman Getsemani,
penderitaan dan ketakutan mulai menyesaki rongga dada, menetes dalam bentuk bulir-bulir
keringat darah. Belum juga berganti hari, Yudas mengkhianati diri-Nya dan murid
lain yang telah makan bersama-Nya lari tunggang-langgang. Petrus sempat
melakukan tindakan heroik, membela Yesus dengan memotong telinga Malkus, walau
akhirnya lari juga.
Keesokan harinya, kesendirian semakin
dirasakan Yesus. Petrus menyangkal Yesus sebagai gurunya sebanyak tiga kali.
Para imam hendak menghukum mati diri-Nya, para prajurit menyiksa-Nya secara
kejam, orang banyak yang dulu berbondong-bondong mencari kesembuhan dan
mendengarkan pengajaran-Nya kini berbalik memperjuangkan kematian-Nya. Dalam
situasi demikian, Pilatus mengambil jalan aman dengan mencuci tangan, tidak mau
terlibat dalam masalah. Semua berbalik dan melawan Yesus tanpa ada yang
menolong dan berpihak kepada-Nya
Yesus bisa saja mengatasi situasi ini
dengan langkah yang tidak kalah cerdik: melakukan klarifikasi dan meminta maaf
atas tindakan-Nya yang telah menimbulkan prahara menjelang Paskah Yahudi. Atau
mencabut kembali kata-kata yang telah menimbulkan pertentangan. Dengan
demikian, mungkin para pengikut-Nya akan kembali. Dengan itu, Ia akan dibebaskan
tanpa jerat hukum dan beraktivitas seperti sediakala bersama murid-murid-Nya.
Ia tidak akan kehilangan massa dan orang-orang dalam lingkaran-Nya. Yesus tidak
akan mengalami penderitaan yang tidak perlu. Salib dan Golgota akan jauh dari
Diri-Nya.
Namun, bukan itu strategi yang
ditampilkan Yesus sepanjang Paskah. Yesus menampilkan suatu keutamaan yang
lebih mendasar dari sekadar strategi politik, yakni suatu relasi yang sejati
dengan Bapa-Nya dan dengan manusia. Pilihan Yesus menanggung segala penderitaan
yang ditimpakan kepada-Nya merupakan bagian dari ketaatan-Nya kepada Bapa untuk
datang ke dunia dan menjalankan misi keselamatan.
Sejak awal kedatangan-Nya di dunia,
Yesus telah menunjukkan ketaatan tersebut. Ia setia dan konsisten dengan
ketaatan-Nya. Ketika mengajarkan perihal hukum kasih (Mat. 5:44), Yesus mempraktikkan-Nya,
termasuk dengan tidak membalas segala penderitaan yang dialami-Nya. Reaksi yang
diberikan-Nya kepada orang-orang yang menganiaya-Nya bersumber dari kasih-Nya kepada
Bapa. Penderitaan menjadi jalan pembuktian ketaatan-Nya kepada Bapa (Ibr. 5:8).
Bagi kita, Yesus telah menunjukkan
totalitas solidaritasnya. Bahkan, Ia wafat dengan cara yang paling keji. Selain
itu, Yesus mengajarkan keberanian untuk memikul salib hidup masing-masing secara
konsekuen. Yesus memberi contoh agar dalam menghadapi masalah, manusia tidak
menjadi pengecut dengan lari mencari zona nyaman.
Yesus mengajarkan manusia untuk
berani menghadapi situasi-situasi sulit sekaligus peduli dan solider dengan
orang-orang yang menderita. Berani memikul salib berarti berani untuk merangkul
kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam kehidupan kita. Berani untuk setiap hari
memikul beban hidup. Sekaligus berani membuka diri terhadap daya cipta Roh
Kudus.
Wabah korona telah membuat banyak di
antara kita berdiam diri di rumah. Saya sendiri hampir sebulan tidak keluar
dari rumah. Bagi saya ini adalah satu bentuk penderitaan.
Dalam situasi seperti ini, kesendirian
dirasakan. Aktivitas yang monoton dengan ruang gerak bersama dengan orang yang
sama menimbulkan kebosanan. Berbagai memori dan kenangan buruk datang silih
berganti. Saya berhadapan dengan sebagian diri yang rapuh dan membuat diri saya
merasa kecil serta hina. Ingin rasanya membuka gerbang dan pergi mencari
keramaian, membuang segala yang buruk. Namun, tindakan tersebut bisa saja
menjadi suatu bentuk ketidakadilan: saya bisa terjangkit atau menjadi penular
virus.
Satu-satunya cara saat ini adalah
bertahan di rumah, setia pada instruksi kesehatan yang ditetapkan, dan
menghadapi kesendirian secara gentle dan
berani. Bisa jadi keberanian itu memampukan saya untuk merangkul diri saya
secara lebih positif dan bermakna.
Peristiwa Paskah yang tidak biasa ini
menjadi momen untuk lebih intens mengevaluasi diri, terutama untuk mengevaluasi
kembali ketaatan dan kesetiaan iman kita kepada Tuhan. Sejauh mana kita
memelihara kesetiaan kepada Tuhan? Sejauh mana kita setia kepada Allah dalam
tugas dan panggilan kita? Sejauh mana kita mampu menanggung segala penderitaan
dalam nama Yesus? Sejauh mana kita menerima diri dalam segala baik dan
buruknya?
Atau mungkin kita telah menjadi
seperti Petrus yang heroik tapi naif? Atau seperti Yudas yang mengkhianati
Yesus tanpa ada harapan untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah terjadi? Satu
hal yang pasti, kita telah memiliki teladan dan pegangan yang pasti, yakni
Yesus Kristus. Mari belajar hidup taat pada Yesus, Sang Guru dan Imam Agung
kita. Amin.
Fr. Rio Edison, OFM, staf di Kantor Pusat JPIC-OFM Indonesia, tinggal di Komunitas St. Yosef Coperthino, Jakarta Pusat.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment