Ekosospol
Lelucon dari Wae Sano: Geothermal itu Seperti Bisul!
![]() |
jpic-OFM Indonesia.com |
Johnny Dohut OFM*
“Panas bumi itu seperti bisul.” Begitu kata Wakil Bupati Manggarai Barat, Ibu Maria
Geong, pada Kamis, 5 Maret tahun lalu lalu, di aula Paroki St. Mikael Nunang,
Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Seminar
Nasional bertajuk “Menimbang Geothermal Wae Sano” ini diselenggarakan oleh
JPIC-OFM Indonesia dalam kerja sama dengan Paroki Nunang.
Terdengar seperti lelucon. Namun saat itu tidak ada yang tertawa. Semua
orang serius mendengar cerita tentang pentingnya ‘menggarap’ bisul itu demi
meningkatkan rasio elektrifikasi dan mendukung program pemerintah dalam
mewujudkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi (Bdk. Dokumen Sosialisasi PT SMI)!
Jika saja Ibu Wakil Bupati hendak melucu dengan kata-kata itu waktu itu,
ia gagal total. Namun, rupanya ia bermaksud lain dan tidak sedang melucu. Di
hadapan warga Desa Wae Sano, ia memberi bobot serius pada omongannya dengan
mengatakan “Ahlinya omong begitu kok!”
Bisul atau wicul dalam bahasa Manggarai membutuhkan
‘bor’. Mengikuti imajinasi itu, maka
baik wicul maupun geothermal (panas
bumi) membutuhkan bor. Bor untuk
wicul adalah peristiwa penting untuk sembuh. Bor bermakna pecahnya bisul setelah matang.
Ada beberapa
usaha yang ditempuh untuk mempercepat ‘bor’-nya
benjolan yang bikin perih itu. Ada yang mengoleskan benjolan itu dengan salep.
Di kampung, orang mengolesnya dengan obat tradisional dari tanaman tertentu.
Pada wicul, bor sungguh-sungguh diinginkan dan ditunggu-tunggu, karena
peristiwa itu membawa kesembuhan dan pembebasan. Paling tidak, bebas dan sembuh
dari rasa sakit.
Jika
Geothermal seumpama bisul, maka imajinasinya sangat mungkin begini: geothermal
adalah bisulnya Ibu Bumi. Geothermal juga akhirnya butuh bor karena kita tidak
tega membiarkan Ibu Bumi menahan perih ribuan tahun. Untuk mempercepat bor
jenis ini, tidak dibutuhkan salep atau ramuan tradisional. Proses itu
menggunakan teknologi pengeboran dan menembus lapisan batuan beku melewati
ribuan meter ke dalam tanah. Merujuk Manager Lapangan PT SMI, Sapto
Kuncorohadi, kedalaman pengebora di Wae Sano berkisar antara 1.500—3.000 meter.
Bor pada benjolan bisul sungguh menenteramkan! Apakah bor
(baca: pengeboran) dalam konteks kegiatan eksplorasi panas bumi juga menjadi
peristiwa yang menyembuhkan, membebaskan, dan menenteramkan? Optimisme ke arah
ini sungguh mengagumkan!
Pro dan Kontra
Prosentase warga yang mendukung sangat signifikan. Merujuk
dokumen UKL-UPL Kegiatan Eksplorasi Panas Bumi Wae Sano, ada 89 % warga setuju,
8% menolak, dan 3 % yang belum menentukan sikap terhadap kegiatan itu. Mereka
setuju dengan rencana eksplorasi ini karena sejumlah alasan antara lain: eksplorasi ini mengurangi aktivitas vulkanik
Wae Sano, meningkatkan kesejahteraan, memenuhi kebutuhan listrik, membuka akses
informasi, panas bumi merupakan energi ramah lingkungan, telah melihat Ulumbu,
meningkatkan kemajuan desa dan pariwisata, banyak sumber daya alam yang tidak bisa dikelola
oleh masyarakat setempat, menciptakan peluang kerja
dan usaha, dapat mengurangi penggunaan minyak bumi (Bdk.Dok UKL-UPL, hlm.133).
Tentu sah-sah saja jika kita bertanya, angka 89 % itu
dari mana? Siapa orang-orang itu dan di mana mereka tinggal? Apakah mereka ada
di Lempe, Nunang, Dasak, Wakar, Ponceng Kalo, dan Taal? Kampung-kampung di Desa
Wae Sano yang menjadi tempat paling dekat dengan area kegiatan eksplorasi panas
bumi Wae Sano.
Menarik, ada 8% warga menolak rencana eksplorasi itu.
Alasan mereka menolak, sebagaimana tertera dalam dokumen UKL-UPL, adalah: (1) kegiatan proyek dikhawatirkan
akan mengganggu keaslian Danau Sano Nggoang; (2) Masyarakat khawatir dengan
risiko aktivitas proyek, seperti ledakan, polusi udara, gangguan lahan dan
perkebunan dan dampak lainnya dapat mengganggu masyarakat setempat; dan (3) kegiatan
pengeboran itu dapat mengganggu permukiman masyarakat (Bdk.
Dok UKL-UPL, hlm. 133). JPIC OFM
Indonesia mendapat kopian daftar nama dan tanda tangan 149 warga yang menolak
kegiatan eksplorasi panas bumi di Wae Sano itu.
Sementara ada
3% lainnya belum menentukan sikap, Ibu Maria Geong sudah begitu yakin bahwa
kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano sungguh-sungguh bermanfaat. Apalagi “Kita
masih kekurangan energi listrik!” Di daerah ini “Kita sangat membutuhkan energi
listrik” untuk pendidikan, kesehatan, untuk usaha pertanian, dan peternakan.
“Ada 88 Desa Di Mabar yang belum mendapat listrik,” ungkapnya dengan nada
prihatin.
Karena itu,
potensi listrik 30 megawatt yang sedang diusahakan di Wae Sano adalah ‘berkat’
untuk memenuhi kebutuhan warga Manggarai Barat. “Listrik dari Wae Sano ini
nanti,” kata Ibu Maria, “tidak dibawa keluar!” Apa dasarnya? Waktu terbatas,
perhatian terpecah karena hal lain: pertanyaan ini tidak sempat disampaikan di
sesi diskusi saat itu!
Lebih dari Sakadar Tolak atau Dukung
Pada sesi
diskusi seminar sore itu, seorang warga Nunang bertanya: Apakah JPIC-OFM
menolak atau menerima geothermal. “Jawab, dan katakan itu secara transparan!”
Sebelumnya, dalam pemaparan singkat terkait beberapa poin penting dari riset
JPIC-OFM Indonesia, Johnny Dohut OFM mengungkapkan bahwa soal geothermal Wae
Sano lebih kompleks dan rumit dari sekadar mengatakan setuju atau tolak.
Sederet pertanyaan yang menjadi soal yang rumit itu
diajukan: Apakah proyek ini
tidak mencemari air? Apakah masyarakat harus mengungsi? Apakah proyek ini tidak menimbulkan gempa picuan? Apakah proyek ini tidak
mencaplok dan mencemari lahan pertanian warga? Apakah proyek ini tidak
memusnahkan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) di wilayah ini? Pertanyaan-pertanyaan ini menjdi sumber kecemasan
dan ketakutan warga sekaligus menjadi tanggung jawab perusahaan untuk
menjawabnya secara bertanggung jawab.
Di Mataloko, kata Pastor Alsis Goa Wonga OFM,
Direktur JPIC-OFM Indonesia yang tampil sebagai moderator dalam seminar ini,
kerusakan terjadi sangat luar biasa. Berbeda dari Ibu Maria yang optimis dengan
hadirnya eksplorasi ini, Alsis justru dengan nada skeptis mewanti-wanti jangan
sampai kecerobohan sikap menerima eksplorasi geothermal, tanpa sungguh mempertimbangkannya,
malah menjadi pilihan untuk menyongsong maut, menjemput kematian.
Kematian, kehancuran, dan kerusakan akibat
eksplorasi dan eksploitasi panas bumi itu telah banyak contohnya di dunia ini.
Peneliti dari Sekolah Demokrasi Ekonomi, Hendro Sangkoyo, dalam pemaparannya,
mengungkapkan bahwa gelombang penolakan geothermal di Eropa saat ini muncul di
berbagai tempat. Energi panas bumi yang digembar-gembor sebagai energi bersih
dan berkelanjutan puluhan tahun lalu, kini justru menimbulkan malapetaka di
sejumlah negara di dunia. Ia memperlihatkan contoh gempa picuan berkekuatan 5
skala ritcher di Pohang, Korea Selatan, pada 2018. Gempa itu terjadi persis di
lokasi eksplorasi dan eksploitasi panas bumi.
Di sini, penting dicermati bahwa penolakan terhadap
eksplorasi dan eksploitasi geothermal tidak lahir dari ruang diskusi para wakil
rakyat dan para ilmuwan. Penolakan datang dari pengalaman empiris warga, yakni
orang-orang yang menderita dan menanggung berbagai akibat proyek geothermal.
Dalam konteks eksplorasi Panas Bumi Wae Sano, Sangkoyo
mengingatkan pentingnya menjunjung tinggi aspek kehati-hatian demi menjamin
keselamatan manusia dan lingkungan. Mengabaikan aspek ini dalam seluruh rencana
eksplorasi Wae Sano sama halnya dengan menjemput maut dalam arti sesungguhnya!
Menjaga Ruang Hidup, Menolak
Eksplorasi Geothermal
Pecahnya
bisul selalu menenteramkan! Menghujamnya mata bor melewati ribuan meter lapisan
batuan tidak selalu menenteramkan. Jika gelombang penolakan menguat akhir-akhir
ini, pesannya untuk kita jelas. Wae Sano bukan hanya potensi 30 megawatt
listrik demi meningkatkan rasio elektrifikasi di Nusa Tenggara Timur yang konon
masih rendah, baru mencapai 70 % (Dok Sosialisasi). Wae Sano terutama adalah
ruang hidup dari warga yang tersebar di Lempe, Nunang, Dasak, Wakar, Ponceng
Kalo, dan Taal.
Warga Desa Wae Sano menyadari pentingnya menjaga
ruang hidup dan memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Salah satu
dokumen penting yang memperlihatkan komitmen mereka menjaga ruang hidup mereka
adalah Dokumen Nempung Cama Riang Puar
(NCRP) yang disahkan pada 2009.
Dalam dokumen ini ditetapkan sejumlah hal untuk
ditaati demi menjaga hutan ulayat Golo Lampang (Bab I), melestarikan burung
liar (Bab II), menjaga kebersihan dan kehidupan di danau (Bab III), menjaga dan
mengelola dengan baik Air Panas/Wae bobok
(Bab IV), mengatur pengambilan Galian C agar tidak merusak lingkungan (Bab V),
menjaga kelestarian mata air dalam hutan lindung (Bab VI), merawat mata air di
tanah milik perorangan dan tidak mengklaimnya sebagai milik pribadi atau
kelompok tetapi milik bersama (Bab VII), menjaga kebersihan jalan desa (Bab
VIII), membangun rumah hunian dan mengembangkan hutan keluarga (Bab IX),
mengembangkan pertanian untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan (Bab X).
Kegiatan eksplorasi panas bumi dilihat sebagian
warga sebagai aktivitas yang mengganggu dan mengancam ketentraman hidup mereka
dalam segala aspeknya. Tentu saja tidak mudah untuk sampai pada sikap setuju,
menolak, dan menunda menentukan sikap. Sekaligus juga terlalu lucu kiranya
menyederhanakan soal geothermal dengan bisul. Juga begitu absurd ketika Maria
Geong saat itu mengatakan “Jika tidak dibor, akan menimbulkan ledakan yang
membabi buta!”
Seminar itu telah lima bulan berlalu ketika JPIC-OFM
hadir bersama lima belas utusan warga dari Wae Sano untuk audiensi di gedung
DPRD Manggarai Barat, pada 29 Oktober 2019. Jawaban untuk pertanyaan itu pun,
setelah kajian yang cukup panjang, menjawab pertanyaan warga di ruang seminar
di tepi danau Sano Nggoang: Apakah JPIC
OFM menerima atau menolak?
Berdasarkan kajian terhadap pelbagai aspek dan
sambil mempertimbangkan fakta menguatnya penolakan masyarakat adat yang terkena
dampak langsung proyek panas bumi Wae Sano, jawaban JPIC-OFM untuk pertanyaan itu sangat
benderang: JPIC OFM merekomendasikan supaya para pengambil kebijakan, meliputi Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BUMN, Kementrian Keuangan, Pemerintah
Daerah Kabupaten Manggarai Barat, dan DPRD Kabupaten Manggarai Barat untuk
menghentikan rencana kegiatan eksplorasi Panas
Bumi Wae Sano!” Pendasaran sikap dan hasil kajian terkait rekomendasi
ini tertuang dalam Kertas Posisi JPIC-OFM yang berjudul “Riang Tana Tiwa Lami Tana Taki: Narasi di Balik Penolakan Proyek Panas
Bumi Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat-NTT.”
*Johnny
Dohut OFM (Koordinator
JPIC-OFM Flores-NTT)
Laporan ini pernah dirilis di Majalah JPIC-OFM Indonesia “Gita Sang Surya”, edisi
September-Oktober 2019.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment