Humaniora
Religi
Apa Makna Api Penyucian bagi Orang Katolik?
![]() |
aleteia.com |
Joan Udu*
Dalam ranah iman Katolik, api penyucian (purgatory) dihubungkan dengan proses
pembenaran dan pembersihan jiwa manusia setelah kematian. Ini merupakan tahap
terakhir dalam proses pemurnian diri manusia dalam perjalanannya kepada Allah.
Proses ini ditempuh sebagai sebentuk persiapan
sebelum masuk ke dalam surga agar orang kemudian pantas “memandang Allah dengan
bahagia” (the beatific vision).[1] Dalam
proses ini, orang mengalami sakit yang hebat karena ketidaksempurnaannya akibat
dosa, dan karena itu, ketiadaan kesempatan untuk memandang Allah yang kudus. Oleh
karena itu, proses penyucian ini dibedakan dengan “memandang Allah” (surga).
Akan tetapi, karena proses ini bersifat temporal, maka ia pun dibedakan dari
api neraka.
Lantas, apa perbedaan surga, api
penyucian, dan api neraka? Apa persisnya makna dan kekhasan api penyucian
dibandingkan surga dan api neraka?
Perbedaan ketiganya dijelaskan dengan
sangat baik di dalam Katekismus Gereja Katolik, khususnya pada artikel 1023,
1030, dan 1033. Melalui tiga artikel ini, Gereja Katolik meyakini bahwa mereka yang
meninggal dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, dengan jiwa yang suci dan
bersih sepenuhnya, akan langsung bergegas menuju surga dan hidup selama-lamanya
bersama Allah.[2]
Lalu, mereka yang meninggal dalam keadaan
dosa berat (terhadap Allah, sesama, atau diri sendiri), tanpa pernah
menyesalkannya dan tanpa menerima cinta Allah yang berbelaskasihan, akan masuk
ke dalam neraka;[3]
sementara mereka yang meninggal dengan jiwa yang belum sepenuhnya suci dan
bersih karena masih menanggung dosa, tetapi tetap berada dalam rahmat dan
persahabatan dengan Allah, harus menempuh suatu penyucian terlebih dahulu sebelum
masuk ke dalam kegembiraan surga.[4] Dari
uraian ini, tampak jelas bahwa proses pemurnian yang dialami manusia dalam api
penyucian dilihat sebagai sesuatu yang berada di antara neraka dan surga.
Pada tataran ini, aksentuasi pokok dari
ajaran Katolik tentang api penyucian bukan pertama-tama pada tempatnya,
melainkan pada proses pemurnian (purification)
untuk mencapai kesucian.[5] Dari
penjelasan Katekismus Gereja Katolik tadi, terlihat bahwa orang yang
masuk dalam proses pemurnian itu adalah orang yang pada dasarnya beriman dan
mempunyai rahmat, tetapi dosa-dosanya belum sepenuhnya tertebus.
Di sini, situasi orang yang sedang
meringkuk di api penyucian digambarkan dengan sangat jelas: di satu sisi, orang
mempunyai rahmat, dan itu artinya ia termasuk dalam keanggotaan surga, tetapi
di sisi lain, masih ada dosa yang ditanggungnya, yang kurang sesuai dengan
surga. Kondisi inilah yang menuntut pembersihan dan penyembuhan secara
meyeluruh, di mana manusia dihadapkan pada dirinya sendiri dalam kenyataan yang
sebenarnya, lalu menerima pengadilan dari Allah demi penyempurnaannya.
Dalam pengadilan ini, kesadaran manusia
akan kedosaannya tidak datang dari dirinya sendiri, tetapi dari Allah yang
dipandangnya dengan penuh kesakitan dan penderitaan.[6] Atas
dasar itu, penyempurnaan pada tahap ini tidak boleh dilihat sebagai sesuatu
yang dilakukan manusia sendiri, atau sebagai bentuk tindakan aktifnya semata,
tetapi mesti dilihat sebagai sesuatu yang diderita manusia karena pertemuannya
dengan Allah.
Dalam hal ini, kata ‘api’ bisa dilihat
sebagai metafor bagi kemuliaan Allah yang mewahyukan kehinaan manusia, atau
juga sebagai simbol bagi berkobar-kobarnya kerinduan manusia akan persekutuan
dengan Allah.[7]
Kerinduan itu begitu besar, terutama karena manusia merasakan ketidaksempurnaan
yang melekat padanya, sebagai akibat dari dosa dan kesalahannya sendiri, yang
membuat ia harus menanggung hukuman atas semuanya itu.
Hukuman yang dialami jiwa-jiwa di api
penyucian, sebagaimana dijelaskan F.X. Schouppe
dalam bukunya, Purgatory: Explained by
the Lives and Legends of the Saints, ada dua macam.[8] Pertama, hukuman karena “perasaan
kehilangan Tuhan”. Hukuman ini diakibatkan oleh hilangnya kesempatan berjumpa
dengan Allah, tujuan dan akhir hidup manusia. Inilah kehausan moral yang
menyiksa jiwa-jiwa. Kedua, hukuman
karena “sesal batin yang tak kunjung henti”. Hukuman ini berkaitan dengan
penderitaan yang dapat dirasakan, sebagaimana halnya hukuman fisik yang dapat
kita rasakan. Hukuman-hukuman ini sebanding dengan banyaknya dosa yang
dilakukan.
Namun, pada masa penghakiman ini, tidak
hanya penderitaan yang dialami manusia, tetapi juga kegembiraan karena yang
bersangkutan percaya dan bersyukur bahwa melalui kebaikan dan belas kasihan
Tuhan, ia diberi kemungkinan untuk mencapai kesempurnaan setelah menempuh
penderitaan di api penyucian.[9] Melalui
Konsili Firenze (1438-1445) dan Konsili Trente (1545-1563), Gereja kemudian
mengajarkan tentang pentingnya doa bagi jiwa-jiwa di api penyucian.[10]
Baca juga: Jejak "Api Penyucian" dalam Agama-agama Kuno
Baca juga: Jejak "Api Penyucian" dalam Agama-agama Kuno
Pertolongan dari orang beriman yang masih
hidup akan sangat efektif untuk meringankan mereka dari penghukuman.
Pertolongan itu berupa kurban Ekaristi, amal, dan tindakan kesalehan lainnya agar
mereka yang sudah meninggal dapat disucikan dan lantas memandang Allah dengan
penuh bahagia. Melalui ajaran tentang api penyucian ini, Gereja menunjukkan
bahwa kematian bukanlah saat di mana kehidupan dilenyapkan, melainkan saat di
mana kehidupan itu justru dikembangkan dan disempurnakan. Inilah makna utama
ajaran tentang api penyucian bagi orang Katolik.
*Joan Udu, Redaktur Lontar Pos
[1] Lih.
Richard Fenn, “Purgatory”, dalam The
Cambridge Dictionary of Christian Theology, diedit oleh Ian A. McFarland,
dkk (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 420. Dalam buku ini, Fenn
menjelaskan api penyucian demikian, “In Catholic theology, ‘purgatory’
refers to a post-mortem state of temporary, disciplinary purification for those
faithful who upon death have not made complete satisfaction for their sin and
thus are not yet ready to experience the beatific vision.”
[5] Meskipun demikian,
sampai sekarang, masih banyak yang berpikir bahwa api penyucian itu lebih
merupakan tempat ketimbang proses. Pemikiran semacam itu tidak bisa disangkal
sebab ajaran tentang api penyucian mencapai puncak kematangannya pada Abad
Pertengahan tatkala mayoritas teolog berpikir bahwa api penyucian adalah sebuah
tempat, yang mereka sebut ‘purgatorium’. Terkait hal ini, akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya.
[8] F.X. Schouppe, Purgatory: Explained by the Lives and
Legends of the Saints (New York:
Tan Books, 1986), 11.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment