Ekosospol
Pilkada: Momentum Menghukum Pemimpin yang Tak Punya Kepala
![]() |
timesindonesia.co.id |
Joan Udu
Dalam kolom Catatan Budaya di Harian Kedaulatan
Rakyat, edisi 25 September 2012, Tjahjono Widijanto, seorang budayawan, pernah menulis
artikel dengan judul menarik “Sastra Mencatat Kecemasan”. Pada bagian akhir
tulisan itu, Widijanto menyitir konsep kepemimpinan ideal yang digambarkan
dalam naskah The Leader karya Ionesco.
Naskah The Leader, demikian Widijanto,
bercerita tentang penantian masyarakat di suatu daerah yang sangat mendambakan
kedatangan seorang pemimpin yang agung, hebat, adil, dan tampan. Namun, setelah
sekian lama menanti datangnya sang pemimpin, akhirnya, pada suatu hari,
datanglah sang pemimpin. Tragis dan ironis, karena sang pemimpin yang sekian
lama dibayangkan begitu ideal, ternyata datang tanpa kepala karena memang tak
punya kepala. Maka, runtuhlah image tentang sang pemimpin yang
telah sekian lama terkonstruksi di benak masyarakat tersebut.
Naskah The Leader yang disitir
Widijanto itu rasanya cukup representatif dalam menguak sepak terjang
kepemimpinan daerah yang mencuat transparan di NTT selama ini. Problem krusial,
seperti kemiskinan yang kian menggurita, pendidikan yang makin terbelakang,
pembangunan yang stagnan, dll, serentak membangkitkan ekspektasi rakyat akan
datangnya seorang pemimpin hebat, populis, dan yang berkarakter “membebaskan”.
Ekspektasi besar itu tak pelak mereka curahkan dalam setiap momen Pilkada—momen
yang mereka yakini melahirkan sosok pemimpin yang ideal.
Namun, apa lacur, pesta Pilkada de facto tak
lebih dari sekadar ritual lima tahunan untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin
pragmatis, ‘gila kuasa’, dan nir-testimoni politik. Pesta Pilkada belum cukup
mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang transformatif dan yang mau bekerja untuk
kesejahteraan rakyat.
Cermati fakta bahwa sampai kini, NTT tidak mengalami
perubahan signifikan. Kemiskinan masih kronis, kualitas pendidikan terus jeblok
dan yang menyedihkan, para pemimpin daerah (bupati dan gubernur) justru jamak
hadir sebagai “jongos” yang menggerayang kesejahteraan rakyat. Karakter
pemimpin seperti ini tampak dalam banyak kebijakan pemerintah yang acapkali
kontraproduktif dengan ekspektasi rakyat.
Sebut saja, misalnya, izin operasi
pertambangan di banyak daerah di NTT, privatisasi Pantai Pede di Labuan Bajo, rencana
pembangunan pabrik semen di Luwuk Manggarai, apatisme pemerintah dalam
menangani human trafficking, dan sebagainya. Ini bukti bahwa
pemerintah daerah terkesan sunyi dan sepi dalam mengurus nasib rakyat.
Rangkaian fenomena ini juga memberi justifikasi bahwa
para pemimpin yang selama ini dipilih rakyat dalam momen Pilkada cenderung
pragmatis, oportunis, dan tidak populis. Jabatan politik hanya digunakan para
pemimpin daerah sebagai ‘sapi perah’ untuk memperkaya diri dan keluarga.
Kenyataan ini pun tak pelak meruntuhkan gambaran pemimpin ideal yang sudah lama
terkonstruksi dalam benak rakyat. Entah berapa lama lagi rakyat harus menunggu
hadirnya sosok pemimpin yang mereka idam-idamkan.
Substansi Politik Tereduksi
Realitas sosial-politik di NTT, yang dari waktu ke
waktu kian gamang, semakin ruyak dan dilematis manakala banyak penguasa incumbent bersikukuh
mempertahankan status quo. Lucu bin aneh, di tengah geramnya rakyat
menyaksikan sepak terjang mereka yang de facto tidak
memuaskan, mereka masih saja bersikukuh berkuasa lebih lama. Mereka membangun
benteng pertahanan, menciptakan garis lintang, dan memperpanjang terusan
demarkasi terhadap pelbagai entitas sosial dan rival-rival politik mereka. Pada
tataran ini, terlihat bahwa politik direduksi hanya sebagai arena kompetisi
besar untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk
kepentingan diri (politics, at its worst is a selfish grab for power,
glory and riches).
Ketika politik dalam kenyataannya hanyalah ajang
pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan, membuang dan mengumpulkan
uang, maka pada kondisi ini, sundulan pertanyaan yang paling kontekstual
adalah, apa itu politik? Dalam situasi chaos seperti ini,
batasan politik yang paling representatif adalah mungkin apa yang pernah
dilontarkan Lasswell (1972), bahwa politik adalah urusan siapa mendapatkan apa,
kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how).
Indeks tesis Lasswell ini semakin menguat manakala
dalam banyak kesempatan, kita acap menyaksikan politik kian terbajak elite.
Karena dibajak terus-menerus, politik akhirnya mengalami pergeseran makna asli.
Politik bukan lagi sebuah seni atau cara (techne) untuk
mencapai bonum commune, melainkan sebuah entitas yang tersuntik
oleh beragam kepentingan primordial yang tidak menyehatkan. Ini nyata dalam
level konstelasi dan praksis politik di NTT saat ini.
Politik untuk tataran NTT (dan Indonesia secara
keseluruhan) sudah mengalami percampuran dan penyilangan antara yang asli dan
tiruan, utopia dan kebenaran, bayang-bayang (simulakrum) dan
realitas, serta kebenaran dan kepalsuan. Semua gejala ini menggiring kita,
rakyat NTT, pada sebuah skeptisisme besar terhadap politik dan
perangkat-perangkat pembangunnya.
Rasionalitas Instrumental
Dari fakta selama ini nyata sekali bahwa para pemimpin, yang secara politis dan konstitusional,
memiliki tanggung jawab dalam mengurus kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya
mampu menunjukkan tanggung jawab secara holistik. Bahkan, pejabat politik
maupun pejabat publik lebih condong berpihak pada kepentingan-kepentingan
primordial yang hanya memberikan keuntungan besar bagi diri dan keluarganya.
Mereka tidak tahu atau mungkin “pura-pura” tidak peduli dengan
substansi jabatan yang mereka sandang. Janji pada masa-masa kampanye untuk
memperhatikan nasib rakyat secara sungguh hanya tinggal janji. Kekuasaan itu
kini didistribusi sebagai milik pribadi dan untuk kepentingan pribadi pula.
Representasi pemimpin (daerah) seperti ini dilukiskan
Thomas Hobbes dengan istilah selfish man, yaitu pemimpin yang
lebih mementingkan diri sendiri, yang dapat melakukan apa saja atas
manusia lain dan segala kekuatan yang ada di sekitarnya demi memenuhi
hasrat dan kepentingan. Manusia-manusia selfish man versi
Hobbes ini bisa menghalalkan segala cara, termasuk mengeksploitasi tenaga,
tubuh, dan keterampilan orang lain sebagai suatu komoditas ( for
commodity).
Pada titik inilah ruang politik memiliki kecenderungan
pada apa yang oleh Habermas, filsuf kontemporer asal Jerman, sebut sebagai
“rasionalitas instrumental”. Dalam paradigma “rasionalitas instrumental”, orang
lain (rakyat) hanya dilihat sebagai instrumen atau objek. Dalam hal ini, para
pemimpin pragmatis menginstrumentalisasi rakyat untuk menunjang tercapainya
tujuan tindakan atau kepentingan pribadinya yang tak lain dan tak bukan adalah
menjaga status quo.
Dalam karakter politik yang demikian, rakyat jamak
diperdaya dengan sekelebat janji kesejahteraan. Ketika belum menjadi pemimpin,
mereka mengeluarkan suara-suara kritis berdaya transformatif terhadap sekelumit
kejanggalan dalam tubuh bangsa. Rakyat selalu diiming-iming dengan sejumlah
janji dan paparan program yang begitu mentereng dan populis. Namun, ketika
sudah berhasil merengkuh dayung kekuasaan, gema nyaring suara
profetik-transformatif itu semakin hambar dan tak kedengaran lagi. Di sinilah rakyat dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan politik para pemimpin cerdik. Mereka (rakyat) menjadi korban politik yang suka bohong.
Menghukum Pemimpin yang Tak Punya Kepala
Di tengah hitam pekatnya konstelasi
politik ini, masyarakat NTT tidak boleh putus asa dan pesimistis. Kita masih
memiliki harapan. Masih ada peluang bagi kita untuk menghadirkan pemimpin
daerah yang kita idam-idamkan.
Pesta Pilkada menanti kita untuk merealisasikan mimpi itu, terutama untuk mencari sosok pemimpin yang ideal yang selama ini kita idam-idamkan. Momen
Pilkada yang tahun ini akan dihelat di sejumlah daerah di NTT akan menjadi kans yang baik bagi kita
untuk menghukum para pemimpin daerah yang (dalam bahasa Ionesco dalam naskah The Leader) “tak punya kepala”, yaitu dengan
tidak lagi memilih mereka pada Pilkada mendatang. Komitmen ini juga mesti
menjadi imperatif moral bagi kita untuk memilih pemimpin baru yang visioner dan
yang memiliki niat yang tulus untuk melayani rakyat.
(Tulisan ini pernah dimuat di Fores Pos, edisi 5/5/2015 dengan judul "Mungkinkah Pilkada dapat Lahirkan Pemimpin Ideal?")
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment