Filsafat
Humaniora
Paul Ricoeur tentang Metafora yang Hidup
![]() |
mediaspro. ch on Vimeo |
Oleh: Joan Udu
Paul Ricoeur[1]
mengelaborasi konsep tentang “metafora yang hidup” (La Metaphore Vive) dalam kerangka filsafat hermeneutiknya. Konsep ini
dikembangkan setelah ia menyadari bahwa interpretasi
terhadap simbol-simbol saja tampaknya tidak cukup untuk hermeneutika.
Pertimbangan ini
antara lain dituangkannya secara gamblang dalam salah satu bukunya yang
terkenal, The Rule of Metaphor (judul
aslinya La Metaphore Vive). Apalagi
dalam buku The Symbolism of Evil,
salah satu bukunya yang banyak bicara tentang simbol, makna
mitos-mitos dan status simbolik mereka sudah dipisahkan dari bahasa yang
mengekspresikan mereka. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang wajar sebab pada
level linguistik dapat terjadi fenomena makna ganda.
Akan tetapi, karena sejak akhir tahun
1960-an Ricoeur sudah mengembangkan hermeneutikanya dari sekadar sebuah teori
interpretasi menjadi sebuah teori interpretasi melalui kegiatan membaca, [2]
problem makna ganda pada level linguistik menjadi sesuatu yang penting untuk
dibahasnya. Dalam The Rule of Metaphor,
Ricoeur membahas problem makna ganda itu melalui analisisnya terhadap metafora—suatu
bentuk bahasa yang diabaikan oleh para positivis, bahkan membuangnya dari
filsafat karena dianggap tidak mempunyai makna kognitif.
Metafora
dan “Penciptaan Kembali” Realitas
Metafora, menurut Ricoeur, merupakan suatu bentuk
bahasa yang kaya karena ia mampu menciptakan sebuah realitas baru.[3]
Untuk konteks hermeneutika, metafora tidak bekerja pada level kata-kata
individual, tetapi pada level kalimat di mana ada ketidaksesuaian antara dua
bingkai semantik pada level literal. Ricoeur menyebut hal ini dengan “referensi
yang terpecah” (split reference), di
mana referensi literal harus disangkal agar bisa menghasilkan inovasi semantik. [4]
Metafora tidak bekerja dengan
mengganti ‘suatu term yang menyimpang’ (one
‘deviant’ term) dengan term lain yang lebih sesuai, tetapi dengan interaksi antara ‘fokus’ (misalnya,
‘gunung batu’) dan ‘bingkainya’ (‘Allah’) dalam konteks keseluruhan kalimat
(“Allah adalah gunung batuku”—bdk. Kej 49:24; Mzr 18:2; 19:14;). Ada tiga
tegangan yang terjadi pada level ini: (1) antara ‘fokus’ dan ‘bingkai’, (2)
antara makna literal dan makna metaforis, dan (3) antara “the is not” dalam “the is”.[5]
Tegangan yang terakhir penting karena
menunjuk pada jalan menuju kebenaran metaforis, yang merupakan cara untuk
melihat sesuatu sebagai sesuatu. Cara
“melihat sesuatu sebagai sesuatu”
dengan cara tertentu ini memancarkan terang dan wawasan baru tentang dunia, dan
karena itu, metafora mampu meningkatkan
pengetahuan manusia atas realitas.
Dalam konteks
ini, interpretasi bersifat intrinsik dalam
metafora. Ia mengundang pendengar atau pembaca untuk menginterpretasikannya secara kritis. Ia mengajak kita
untuk berpikir kreatif, menciptakan realitas fiktif yang bersumber dari
imajinasi, dan melalui imajinasi itu, menciptakan sebuah dunia yang membantu
manusia memandang realitas
secara luas.[6]
Imajinasi pada aras ini bersifat produktif, bukan hanya karena ia
menciptakan objek yang tidak nyata, tetapi lebih karena ia memperluas
penglihatan manusia atas realitas. Oleh karena itu, menurut Ricoeur, bahasa
metaforis sangat khas dan berbeda dari jenis bahasa yang lain.
Bahasa metaforis berbeda dari bahasa sehari-hari yang digunakan untuk
komunikasi dan untuk mereduksi ambiguitas serta dari bahasa ilmiah yang menekankan makna tunggal dalam berargumentasi; bahasa metaforis berada dalam tegangan
antara kesamaan dan perbedaan yang dapat digunakan untuk penggambaran kembali
realitas.[7]
Dengan demikian, bahasa metaforis jauh lebih hidup dan dinamis.
Metafora
yang Hidup
Ricoeur memberikan penekanan khusus pada metafora yang
maknanya tetap terbuka dalam diskursus atau belum terbakukan. Jenis metafora
ini ia namakan sebagai ‘metafora yang hidup’ (La metaphore vive). Sementara metafora yang maknanya sudah baku dan
tetap atau sudah masuk dalam kamus peribahasa ia namakan sebagai metafora yang
mati.
Dalam kerangka ini, ia mengkritik kajian retorik yang
mengoperasikan metafora pada tataran kata. Kajian retorik memperlakukan
metafora sebagai produk yang sudah jadi sehingga maknanya menjadi pasti. Kajian
semacam ini mematikan metafora.
Bagi Ricoeur, metafora harus dipahami
sebagai sebuah wacana dan bukan hanya kata-kata. Makna metaforis tidak terletak
pada kata, tetapi pada tataran penggunaan kalimat dalam diskursus. Dengan
demikian, kata-kata tidak mempunyai arti metafor jika tidak berada dalam
kalimat.
Metafora yang hidup, yang terjadi pada ranah
semantik, berasal dari sifat polisemi kata. Sifat polisemi ini merujuk pada
kemampuan kata untuk memiliki beberapa arti tergantung pada konteks atau
referensi yang dirujuk. Lantas, bagaimana proses pembentukan makna dalam
metafora?
Seperti sudah dijelaskan, metafora
membentuk makna melalui ‘interaksi’ antara dua hal yang dikombinasikan untuk
memberikan gambaran tentang hal tertentu. Meskipun ungkapan metafora adalah
suatu kesatuan, dua hal yang dikombinasikan di dalamnya tidak melebur, tetapi
tetap berbeda dalam kombinasi mereka.
Di dalam interaksi ini, terjadi
tegangan, dan justru di
situlah makna ditemukan. Makna
baru yang muncul pada kalimat adalah penemuan imajinasi sebuah referensi.
Dengan demikian, metafora memuat produk makna sekaligus memproduksi makna baru.
Metafora menghadirkan gagasan baru
dengan cara baru, yaitu dengan menghadirkan “the is not” dalam “the is”.[8]
Metafora mengajak kita untuk “melihat sesuatu yang lain”, dan karena itu,
metafora menyingkap dunia baru dan menambah pengetahuan kita akan realitas objektif.
Karena metafora merupakan penggambaran kembali realitas dan memiliki sebuah
rujukan meskipun bersifat imajinatif, maka kalimat metafora bersifat kreatif
dan ontologis. Di dalam metafora, makna ditemukan sekaligus diciptakan.
Dalam kerangka
inilah Ricoeur melihat bahasa puitis sebagai bahasa yang paling
metaforis.[9]
Bahasa puitis paling dekat dengan kebenaran manusiawi, yang merupakan suatu
kebenaran fenomenologis, di mana kebenaran objektif dunia eksternal dan
kebenaran subjektif pembaca bertemu. Maka, metafora pun mempunyai nilai
kebenaran.
Saat kita membuat metafora “Allah
adalah Bapa”, misalnya, tentu
kita tidak benar-benar memaksudkan Allah seperti bapa biologis kita atau ‘bapa’
yang secara umum kita pahami; akan tetapi, dari segi lain, kita memahami kenapa
kita menyebut-Nya ‘Bapa’. Pemahaman itu bersumber dari imajinasi produktif, dan
sebagai demikian, metafora “Allah adalah Bapa” mengandung nilai kebenaran tersendiri.
Imajinasi
Produktif dan Restrukturisasi Ranah Semantik
Di dalam metafora, imajinasi
produktif dibutuhkan karena menurut Ricoeur “imajinasi merestrukturisasi ranah
semantik”.[10]
Di sini, Ricoeur menekankan kemampuan metafora untuk “membentuk kembali”
realitas dengan cara baru daripada sekadar mendeskripsikannya kembali. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari pemahaman bahwa bahasa metafora hanya
merepresentasi atau mencerminkan realitas.
Metafora memang merujuk pada
realitas, tetapi ia memiliki “referensi kreatif” dan tak tergantikan. Ia
merujuk pada suatu dunia yang “lebih dalam” dari sekadar dunia empiris yang
membatasi realitas (being) hanya pada
dunia kini dan di sini atau pada yang aktual. Metafora memperluas konsep ‘kebenaran’ sehingga ‘yang real’
tidak melulu mengacu pada kebenaran yang terverifikasi secara empiris, tetapi
juga mencakup suatu penglihatan yang lebih luas dengan memasukkan ‘yang
mungkin’ ke dalamnya.
Referensi ucapan metaforis membawa “being” sebagai potensialitas dan
aktualitas ke dalam cakupan dari ‘yang real’.[11]
Di sinilah, demikian Ricoeur,
“melihat sesuatu sebagai” (seeing-as)
bisa mengantar kita
pada level ontologis, yaitu “menjadi seperti” (being-as). Maka, di sini, metafora
memaksudkan ‘yang real’ sebagai suatu “kekuatan menjadi” dan bukan sebagai
realitas yang tetap dan statis.
Martin Heidegger, salah seorang filsuf dan tokoh metafisika Jerman,
berada pada posisi ini bahwa ‘yang real’ juga mencakup ‘yang mungkin’, suatu
kekuatan dinamis yang potensial menyingkapkan sebuah modus eksistensi baru;
dan tempat di mana eksistensi itu
“mekar ke laur” (blossom forth)
adalah bahasa metaforis.[12]
Itulah yang kemudian Ricoeur sebut sebagai bahasa metaforis yang hidup, di mana ia memproyeksikan suatu “dunia
baru yang mungkin” melalui suatu cara yang baru.
Dalam metafora “Allah adalah gunung batuku”, suatu realitas baru yang
mungkin semacam itu digambarkan: Allah secara potensial dilihat (seeing-as) dan secara aktual dialami (being-as) sebagai ‘gunung batu’, sebagai
benteng perlindungan yang kokoh.
Namun, penggambaran metaforis
tersebut tidak bisa dilihat sebagai “kebenaran yang secara aktual memang demikian” atau sebagai penjelasan yang
sempurna tentang hakikat eksistensi Allah (aspek the is not), tetapi mesti dilihat sebagai suatu “kebenaran yang secara potensial demikian” (aspek the is). Sebab bagaimanapun misteri
Allah tetap tidak bisa disingkap secara tuntas dalam bahasa manusia yang
terbatas. Dengan demikian, dalam penggambaran metaforis tersebut, ada unsur the is not dalam the is serta ‘yang aktual’ sekaligus ‘yang potensial’ dalam ‘yang
real’. Persis dalam kerangka inilah kebenaran metaforis dipahami, dan pemahaman
tersebut dilakukan melalui suatu fenomenologi membaca.
Memahami
Metafora sebagai Proses Hermeneutik
Dalam filsafat, fenomenologi membaca biasa
dikenal dengan proses hermeneutik, di mana kita berusaha menyelami proses inovasi
semantik dalam teks, menemukan makna dan modus eksistensi baru yang
ditawarkannya, lalu akhirnya mengapropriasi maknanya sebagai “suatu dunia
kehidupan” yang hendak kita huni dan hayati. Dengan demikian, memahami metafora
tidak sekadar memahami teks, tetapi juga memahami kehidupan.
Makna dalam metafora tidak bersifat
kaku dan tertutup, tetapi bersifat hidup, eksistensial, dan menggairahkan.
Maka, memahami deskripsi-deskripsi metafor, misalnya dalam puisi, juga berarti
memahami kehidupan eksistensial ini secara baru dan mendalam. Inilah yang
dimaksud Ricoeur dengan ‘metafora yang hidup’, sesuatu yang sungguh-sungguh membangkitkan
pemaknaan yang jernih atas sebuah kehidupan eksistensial yang banal.
Daftar
Pustaka
Ricoeur, Paul. The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language.
Toronto: University of Toronto Press, 1977.
Ricoeur, Paul dan Mario J. Valdes. A
Ricoeur Reader: Reflection and Imagination. Canada: Harvester Wheatsheaf,
1991.
Ricour, Paul. “Imagination in Discourse
and Action,” 168-187 dalam From Text to
Action: Essays in Hermeneutics, II, Northwestern University Studies in
Phenomenology and Existensial Philosophy. Evanston: IL: Northwestern University
Pess, 1991c.
Simms,
Karl. Paul Ricoeur. London:
Routledge, 2003.
Stiver,
Dan R. Ricoeur and Theology. London:
Bloomsbury, 2012.
[1] Paul Ricoeur, kelahiran kota Valence, Prancis Selatan, tanggal 27 Februari
1913,
adalah salah satu pemikir Prancis yang sangat “tenang” dan “matang”
serta sangat berbeda dari para pemikir Prancis umumnya, yang cenderung
provokatif dan radikal. Alih-alih melawan pemikir lain, dia mencoba membangun
hubungan-hubungan kesamaan dengan yang lain, dan hal itu merupakan bukti
kepiawaiannya dalam hermeneutika. Meski
dikenal sebagai filsuf, ia menulis karya-karya yang memengaruhi pelbagai
bidang, seperti agama, eksegesis Alkitab, ilmu sejarah, kesusastraan,
psikologi, ilmu hukum, politik, dan linguistik. Ricoeur meninggal dunia
pada 20 Mei 2005 di Chatenay-Malabry, Prancis.
[2] Pengembangan ini
dilakukan Ricoeur dalam bukunya, La
metaphore vive (1975), atau dalam versi Bahasa Inggrisnya, yang
menjadi rujukan utama pembahasan tulisan
ini: Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language (Toronto:
University of Toronto Press, 1977).
[3] Oleh karena
itu, metafora
yang dibahasnya berfokus pada tiga tataran: metafora pada tataran kata adalah
bidang kajian retorika; metafora pada tataran kalimat adalah bidang semantik;
dan metafora pada tataran diskursus adalah bidang kajian hermeneutika. Lih. Paul
Ricoeur, The Rule of Metaphor, 7.
[4] “Referensi” dalam
konteks ini adalah istilah linguistik mengenai hubungan antara referen
(kenyataan atau “dunia luar” yang dirujuk) dan lambang (bentuk bahasa) yang
dipakai untuk mewakilinya. Lih. Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor, 224.
[10] Paul Ricour,
“Imagination in Discourse and Action,” 168-187 dalam From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, Northwestern
University Studies in Phenomenology and Existensial Philosophy (Evanston: IL:
Northwestern University Pess, 1991c), 173.
[11] Konsep ini didasarkan pada komentar Ricoeur
terhadap konsep potensialitas dan aktualitas Aristoteles dalam Metaphysic, di mana Aristoteles
mendefinisikan keduanya secara korelatif:
potensiality is to actuality as
the "power to be" is to "being". Lih. Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor, 307-309.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment