Pariwisata
Lelucon Wisata Halal
![]() |
Kareba Toraja.com |
Rencana
Badan Otoritas Pariwisata (BOP) untuk memberlakukan konsep wisata halal di Labuan
Bajo, Manggarai Barat menuai banyak kritik dan kecaman. Jika disimak dengan
baik, tampak sekali bahwa kritik dan kecaman itu secara umum bermuara pada satu
titik simpul, yaitu menolak konsep wisata halal tersebut. Saya sendiri berada
pada posisi tegas tersebut, sebab untuk konteks NTT, secara khusus Manggarai
Barat, konsep wisata halal ini lebih merupakan sebuah lelucon ketimbang sebagai
kebijakan publik yang masuk akal.
Pertimbangan Fundamental
Secara
pribadi, saya mempunyai beberapa pertimbangan fundamental terkait keberatan
terhadap konsep wisata halal tersebut. Pertama,
konsep wisata halal ini tidak memiliki legitimasi hukum karena tidak diatur dan
dijelaskan dalam UU nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan. UU ini hanya
mengatur soal penentuan wilayah pariwisata strategis dengan mempertimbangkan
aspek sosial, kultural, lingkungan, dan agama setempat. Tidak dijelaskan sama
sekali tentang konsep wisata halal di situ.
Lagi
pula secara sosial dan kultural—jika betul-betul mengacu pada UU kepariwisataan
di atas—kita tidak mengenal kategorisasi normatif tentang halal dan haram,
terutama dalam kaitannya dengan standar pelayanan di ruang publik. Lalu, dari
segi agama setempat atau dari segi agama yang paling banyak dianut di daerah
ini, konsep wisata halal itu jelas tidak kontekstual, tidak mendesak, dan sama
sekali tidak dibutuhkan.
Hal
itu dikarenakan pemberlakuan konsep wisata halal tersebut mengandaikan kita memiliki
perda syariah atau setidaknya menganut hukum syariah. Sementara de facto mayoritas masyarakat NTT sama
sekali tidak mengenal dan menganut hukum syariah. Atas dasar itu, pemberlakuan
konsep wisata halal ini tidak berdasar dan tidak pada tempatnya.
Hal
ini mesti dicermati secara jernih sejak sekarang karena bukan tak mungkin
keganjilan serupa akan muncul di kemudian hari. Saya sendiri melihat bahwa
secara substansial konsep wisata halal ini memiliki satu tujuan tunggal, yaitu mengakomodasi
serta mengintegrasikan nilai-nalai syariah dalam kegiatan pengembangan kepariwisataan
di Manggarai Barat. Ini jelas tidak masuk akal karena integrasi nilai-nilai
syariah itu tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pembangunan kepariwisataan
kita. Apalagi secara hukum konsep wisata halal ini tidak memiliki pijakan yang
jelas dan kuat.
Pada
tahun 2014, memang ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hal serupa,
yaitu konsep “hotel syariah” yang diatur melalui Peraturan Menteri Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif nomor 2 tahun 2014, tetapi dua tahun kemudian dicabut
dengan peraturan nomor 11 tahun 2016 (Flores
Pos, 7/5/2019). Lantas, apa basis hukum dari konsep wisata halal ini? Hal
ini harus dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara publik agar tidak
terkesan bahwa konsep wisata halal ini diberlakukan hanya berdasarkan prinsip
“suka-suka” atau berdasarkan kepentingan sektarian kelompok tertentu. Badan
Otoritas Pariwisata (BOP) Manggarai Barat harus betul-betul mempertimbangkan
hal ini.
Kedua, konsep wisata
halal ini, yang dibuat berdasarkan standar moral partikular agama tertentu,
tidak bisa dijadikan dasar pembuatan kebijakan publik di bidang pariwisata. Coba
kita bayangkan, jika konsep wisata halal ini diberlakukan secara legal-formal,
kita akan dihadapkan pada banyak kesulitan serius. Sekurang-kurangnya akan
terjadi semacam pemaksaan terhadap mayoritas masyarakat di daerah ini yang jelas-jelas
tidak mengenal kategorisasi syariah tentang halal dan haram.
Ruang
gerak masyarakat kita, terutama para pelaku dan pengelola pariwisata, pun akan
banyak dibatasi sebab konsep wisata halal ini selalu mengandaikan konsep wisata
haram. Kalau ada situs atau model pelayanan wisata yang dihalalkan, yang jelas
ada pula yang diharamkan. Kita pun, seperti kata Gubernur NTT, akan dibikin ribet
dan ribut oleh urusan yang tidak terlalu substansial semacam ini.
Selain
itu, ada implikasi krusial yang lain yang timbul karena pemberlakuan konsep
wisata halal tersebut, yaitu bahwa setiap pelaku dan pengelola pariwisata,
termasuk yang non-muslim, “diskenariokan” untuk belajar dan mengerti hukum
syariah. Mereka harus belajar tentang konsep wisata halal, belajar ketentuan
syariah tentang halal dan haram, termasuk memetakan wilayah pariwisata
strategis yang sesuai dengan ketentuan syariah. Lama-lama muncul desakan untuk
memproduksi peraturan daerah tentang pariwisata bersyariah. Tafsiran ini
mungkin terkesan meluas, tetapi bukan tak mungkin akan menyeruak di kemudian
hari, terutama kalau kita tidak mengantisipasinya sejak sekarang.
Ketiga, konsep wisata
halal ini tidak sesuai dengan visi pembangunan kepariwisataan di NTT yang
mengedepankan wisata berbasis budaya. Berdasarkan visi itu, pembangunan kepariwisataan
NTT seharusnya banyak mengakomodasi dan mengintegrasikan kearifan lokal dan
nilai-nilai budaya NTT, bukannya mengakomodasi dan mengintegrasikan nilai-nilai
moral-religius agama tertentu. Pengintegrasian kearifan lokal dan nilai-nilai
budaya itu jauh lebih penting dan mendesak untuk NTT saat ini sebab aspek itu sungguh
menggambarkan identitas kita sebagai salah suatu daerah pariwisata di
Indonesia.
Identitas
budaya tersebut mesti ditonjolkan sebagai aspek pendukung yang penting untuk pariwisata.
Hal ini yang mesti terus kita upayakan ke depan, bukan penerapan wisata halal
yang kurang berdasar tersebut. Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Manggarai Barat
harus memikirkan hal ini agar kemudian bisa bekerja dengan lebih profesional.
Keempat, tanpa
pemberlakuan wisata halal ini, saya kira para pelaku dan pengelola wisata sudah
tahu apa yang menjadi kebutuhan para wisatawan muslim. Buktinya, tidak ada
masalah yang terlalu berarti selama ini. Lagi pula tidak ada yang harus
diprioritaskan di sini, apalagi sampai memaksakan keyakinan moral partikular
semacam ini untuk dijadikan kebijakan publik. Semua kelompok masyarakat dan wisatawan
harus diperlakukan secara sama dan adil.
Jangan
sampai konsep halal dan haram ini mengacaukan harmonisme sosial yang sudah lama
kita bangun. Konsep wisata halal ini pun akhirnya bukannya memajukan sektor
pariwisata kita, tetapi justru menciptakan persoalan-persoalan baru yang
menghancurkan proyek pembangunan kepariwisataan kita. Apalagi konsep wisata
halal ini kontraproduktif dengan nilai-nilai budaya NTT, terutama Manggarai
Barat.
Tolak Wisata Halal
Dari
sejumlah pertimbangan fundamental di atas, saya kira sangatlah beralasan jika sebagian
besar rakyat NTT menolak penerapan wisata halal tersebut. Konsep wisata halal
ini akan mematikan pariwisata dan kearifan lokal kita. Jika Badan Otoritas
Pariwisata (BOP) tetap berkukuh memberlakukan konsep wisata halal ini, maka itu
akan menjadi lelucon yang susah diterima dengan akal sehat. Selain karena tidak
memiliki legitimasi hukum, konsep wisata halal ini tidak memiliki urgensi dan
signifikansi dalam kegiatan pengembangan pariwisata di NTT, secara khusus di Manggarai
Barat.
Untuk
itu, kita harus mendukung sikap tegas pemerintah provinsi NTT dan pemerintah
kabupaten Manggarai Barat yang menolak penerapan kebijakan wisata halal
tersebut. Ini adalah langkah yang tepat dalam rangka menjaga semangat dan komitmen
kita untuk mengembangkan pariwisata yang berbasiskan budaya NTT.
Kita
berharap, dengan adanya masukan-masukan ini, Badan Otoritas Pariwisata
(BOP) Manggarai Barat bisa bekerja lebih profesional lagi tanpa diboncengi
kepentingan tertentu. Para pengurus BOP harus betul-betul memahami dan
mengetahui visi, karakteristik, dan kebutuhan pariwisata di NTT agar hal serupa
tidak terulang di kemudian hari. Mari satukan tekad untuk memajukan pariwisata
berbasis budaya di NTT! (Joan Udu)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment