Lain-lain
Tips
Baca juga: Kasih yang Sempurna: Renungan Hari Kamis Putih
Lebih dari itu, megasihi musuh membutuhkan kesabaran, keluasan hati, dan kesiapan secara mental-spiritual. Mengingat hal itu tidak mudah, maka bagian ini diberi perhatian dan penekanan khusus oleh Matius.
Kiat Mengasihi dengan Hebat
![]() |
gkiswjatim.org |
“Jika mau melihat
kasih yang sejati,
yang tulus dan
tanpa syarat,
lihatlah salib!”
(Mr. Kerupuk)
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita mungkin sudah akrab dengan sebuah logika umum bahwa
orang yang berbuat baik kepada kita mesti kita perlakukan dengan baik,
sedangkan orang yang berbuat buruk atau yang menyakiti kita pantas kita jauhi
dan musuhi. Bahkan, tak jarang ada orang yang bertindak semena-mena terhadap
orang lain hanya karena orang tersebut tidak berbuat sesuai dengan harapan,
keinginan, atau apa yang dianggapnya baik.
Tak
jarang seorang majikan, misalnya, berkata-kata kasar atau bahkan menyiksa asisten
rumah tangganya hanya karena sang asisten tidak bekerja sesuai dengan harapan
dan keinginannya. Atau pasukan ISIS, yang begitu brutal menghabisi orang-orang
yang dipersepsinya musuh hanya karena orang-orang itu berbeda pandangan dan
ideologi dengan mereka. Hanya karena memiliki pandangan dan prinsip yang
berbeda, kita kerap saling menggerayang, memusuhi, dan menjauhi satu sama lain.
Orang-orang
Kristiani pun tak jarang mengarus dalam logika berpikir macam itu. Kita begitu
mudah membangun dikotomi: ‘temanku’ atau ‘musuhku’. Orang yang kita anggap
teman akan kita perlakukan dengan baik dan ramah, sementara orang yang dianggap
‘musuh’ dicuekin dan dijauhi.
Hal
itu membuat hidup dan relasi kita tersegmentasi, tidak bebas, dan tidak
terbuka. Kasih sebagai dimensi penting dalam berelasi pun akhirnya dipersempit
dan hanya dibagikan kepada orang-orang yang kita anggap teman, yang dalam
banyak hal sepaham dan sepandangan dengan kita.
Yesus
mengecam dengan keras sikap dan cara berpikir macam itu. Dalam Matius 5:46-47,
misalnya, Ia menegur dengan nada sarkas: bukankah pemungut cukai dan
orang-orang yang tidak mengenal Allah juga berbuat demikian? Apakah lebihnya
kita dari mereka?
Yesus
menghendaki agar para pengikut-Nya, tidak mengarus begitu saja dalam model berpikir
dan bersikap orang kebanyakan. Melalui Matius 5:43-48, Ia secara tegas
memerintahkan agar kita, para pengikut-Nya, berpikir dan berlaku khas sebagai
orang Kristen, yaitu dengan mengasihi sesama secara universal, termasuk
musuh-musuh kita.
Perintah
dalam teks Matius 5:43-48 itu memang sangat menantang dan pasti melelahkan, sebab
untuk mengasihi orang-orang yang sehari-hari dekat dengan kita saja tidak
mudah, apalagi mengasihi musuh. Mengasihi musuh mengandaikan kita sudah
mengasihi diri kita dan orang-orang yang berada di sekitar kita.
Baca juga: Kasih yang Sempurna: Renungan Hari Kamis Putih
Lebih dari itu, megasihi musuh membutuhkan kesabaran, keluasan hati, dan kesiapan secara mental-spiritual. Mengingat hal itu tidak mudah, maka bagian ini diberi perhatian dan penekanan khusus oleh Matius.
Penekanan
itu diperjelas dengan beberapa paralelisme menarik yang selalu berkutat pada angka
dua: dua perintah lama (“kasihilah
sesamamu” dan “bencilah musuhmu”), dua
perintah baru (“kasihilah sesamamu” dan “berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu”), dua alasan mengasihi
musuh (“karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu” dan
“bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun mengasihi orang yang
mengasihinya”), dua contoh kebaikan Allah
bagi semua orang (“menerbitkan matahari bagi orang yang baik dan yang
jahat” dan “menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak
benar”), dua kelompok manusia
(“baik-jahat” dan “benar-tidak benar”), dan dua
perwakilan orang berdosa (“pemungut cukai” dan “orang yang tidak mengenal
Allah”).
Paralelisme
ini sangat mungkin dimaksudkan sebagai petunjuk bahwa perintah pada Matius
5:43-48 ini merupakan hal tersulit di antara semua yang sudah diuraikan
sebelumnya sejak Matius 5:21. Perintah ini sebenarnya bersumber dari Imamat
19:18: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap
orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri”.
Di
sini, orang-orang Yahudi memahami ‘sesama manusia’ secara sempit, yaitu hanya
sebatas pada sesama bangsa Israel (bdk. Im 19:18a). Namun, melalui Matius
5:43-48, Yesus berusaha menafsirkan ‘sesama manusia’ pada Imamat 19:18 itu apa
adanya.
‘Sesama
manusia’, menurut Yesus, berarti semua manusia, tanpa melihat siapa orang itu
dan bagaimana relasinya dengan kita. Dengan demikian, musuh-musuh pun masuk
dalam kategori sesama manusia. Artinya, kita pun harus mengasihi musuh-musuh
kita. Lantas, bagaimana tindakan kasih seperti itu diaktualkan secara konkret?
Pertama, kasih itu harus
dibuktikan dengan mendoakan musuh. Mengasihi berarti mendoakan (ayat 44b) agar
Allah berbuat yang terbaik kepada musuh-musuh kita. Kita diminta untuk berdoa
seperti Tuhan Yesus ketika digantung di salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
Kedua, kasih mesti
ditunjukkan dengan berbuat baik (ayat 45). Tidak cukup jika kasih itu hanya ditunjukkan
dengan berdoa. Kita sendiri harus melakukan kebaikan itu kepada musuh-musuh
kita, misalnya dengan membesuk mereka ketika mereka lagi sakit, membantu mereka
manakala mereka mengalami kesusahan, tanpa memedulikan apakah mereka senang dan
ikhlas menerima bantuan kita.
Tuhan
sendiri telah menunjukkan kepada kita teladan kebaikan yang menakjubkan: Ia
memberikan matahari dan hujan kepada semua orang, tanpa terkecuali (Mat 5:45).
Kita pun patut meneladani-Nya.
Ketiga, kasih itu juga perlu ditunjukkan dengan memberi salam (ayat 47). Memberi salam berarti kita
mempunyai inisiatif dan ketulusan dalam menyapa musuh kita.
Dalam
tradisi Yahudi, sebuah salam sekaligus berisi ucapan berkat (Mat 10:12-13).
Salam bukan sekadar sapaan biasa, melainkan mengandung doa kepada Allah. Dengan
demikian, mendoakan musuh dan memberikan mereka salam memiliki kesamaan:
sama-sama mengharapkan yang terbaik untuk mereka.
Dengan
mengasihi musuh dalam perbuatan-perbuatan konkret, kita menampilkan diri secara sungguh sebagai “garam” dan “terang” dunia. Kita bersaksi bahwa sama
seperti Allah yang mengasihi semua ciptaan tanpa terkecuali, kita pun mengasihi
sesama manusia tanpa terkecuali. Itulah tuntutan kesalehan Kristiani.
Yesus
meminta kita untuk bersikap berbeda dan khas Kristiani, dan karena itu, Ia
memasang target kesalehan yang di atas rata-rata bagi kita, para pengikut-Nya
(Mat 5:20), yang melebihi kualitas kesalehan pemungut cukai dan orang-orang
yang tidak mengenal Allah. Kita diminta Yesus untuk mengasihi musuh kita dengan
tulus dan penuh kesadaran.
Ia
sendiri telah menunjukkan teladan yang sempurna kepada kita, yang antara lain
tampak dalam kelapangan hatinya untuk mengampuni orang-orang yang sudah
menyalibkan Dia—orang-orang yang seharusnya ia pandang musuh. Inilah contoh
tindakan kasih yang paling hebat dan radikal.
Sebagai
pengikut Kristus, kita pun dipanggil untuk melakukan hal yang sama. Mari kita
belajar secara sungguh pada contoh hidup Yesus! (Joan Udu)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment