Sosok
Kondisi ini memperlihatkan pemimpin
kita saat ini seringkali tidak mencerminkan keinginan dan agenda rakyat. Jadi,
itu dua hal yang menurut saya menjadi persoalan serius saat ini.
Farid Ridwanuddin: Para Pemimpin Perlu Perkuat Jangkar Moral
![]() |
Kiblat. net |
Lontar Pos
- Kepemimpinan politik pada dasarnya diperlukan untuk menjamin terwujudnya
kesejahteraan umum dalam suatu komunitas politis yang bernama negara. Pemilu
lantas dihelat dalam rangka memastikan estafet kepemimpinan politik itu
berjalan dengan baik.
Dalam setiap pemilu, baik pilpres,
pileg, maupun pilkada, tentu terbersit harapan bahwa para pemimpin politik dan
pejabat publik yang terpilih dapat menjalankan tugasnya secara optimal,
terutama dalam merealisasikan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi
segenap warga negara.
Lantas, apakah tugas itu sudah
dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para pemimpin politik dan pejabat publik
di negara ini? Apakah kepemimpinan politik kita sudah betul-betul menjawab
harapan dan cita-cita rakyat? Apa yang bisa dilakukan untuk memperkuat mutu
kepemimpinan politik dan proses demokrasi di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita
dalami bersama melalui wawancara dengan Farid Ridwanuddin, seorang aktivis
KIARA (Koalisis Rakyat untuk Keadilan Perikanan), yang selama ini terlibat
aktif dalam sejumlah kegiatan advokasi dan animasi masyarakat akar rumput,
khususnya para nelayan dan penduduk di daerah pesisir. Berikut petikan
wawancara dengan Farid Ridwanuddin.
Sebagai aktivis yang banyak
mengadvokasi masyarakat “akar rumput”, bagaimana Anda melihat kepemimpinan
politik di Indonesia selama ini?
Pertama,
kepemimpinan politik kita selama ini masih banyak diwarnai oleh kepemimpinan
yang legitimasinya elektoral, bukan moral. Kepemimpinan seperti ini tidak bisa menjamin
kepemimpinan yang bisa diharapkan oleh masyarakat.
Sebagai contoh, ada pemimpin yang
setelah terpilih justru memberikan banyak izin kepada pihak ketiga atau pihak
investor untuk mengeruk dan mengeksploitasi alam, dan akhirnya ditetapkan
sebagai tersangka korupsi. Maka, sekarang ini kita masih kekurangan pemimpin
yang legitimasinya bukan hanya elektoral, tetapi juga moral.
Masih jarang sekali kita melihat
pemimpin politik yang bisa memberikan keteladanan yang baik kepada masyarakat
atau yang benar-benar mendorong perubahan sampai di tingkat akar rumput. Kita
harus akui itu masih jarang sekali.
Kedua, yang
saya lihat, kepemimpinan politik kita hari ini seperti memiliki agenda
tersendiri, bukan agenda masyarakat. Yang menjadi agenda masyarakat itu,
misalnya, ingin menyelamatkan lingkungan hidup atau untuk kesejahteraan sosial.
Tetapi, pemimpin politik kita tiba-tiba menetapkan investasi secara
besar-besaran, yang tidak sesuai dengan agenda rakyat.
Saya ambil contoh, pada tingkat
nasional, pada pemerintahan Jokowi ini, ada banyak kasus yang seharusnya
diselesaikan, terutama kasus-kasus perampasan ruang hidup. Yang lagi ramai
sekarang ini, misalnya Kendeng.
Atau dalam konteks pesisir dan
pulau-pulau kecil, kita bisa melihat bagaimana masyarakat pesisir menghadapi
ancaman privatisasi ruang hidup mereka (ancaman privatisasi pesisir dan
pulau-pulau kecil), baik untuk kepentingan reklamasi maupun untuk kepentingan
pariwisata, dan sebagainya. Itu sebenarnya agenda rakyat yang harus dijalankan.
Tetapi, sayangnya, yang didorong pemerintah justru investasi dalam skala besar.
Bagiamana dengan para wakil rakyat di
parlemen?
Ya, yang di parlemen juga sama. Kita
bisa saksikan dari periode ke periode pasti ada anggota DPR yang ditangkap
karena kasus korupsi, atau karena kasus pelecehan seksual, dll yang mencederai
citra mereka sebagai wakil rakyat. Kasus semacam terus-menerus terjadi. Nah,
tentu kita bisa pertanyakan, mereka ini sebenarnya mewakili siapa.
Bagaimana dengan para pemimpin
politik dan pejabat publik di tingkat daerah?
Ya, kita juga tahu ada banyak
gubernur yang menjadi tersangka korupsi, dan rata-rata karena masalah
pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, gubernur Sulawesi Tenggara sebelum yang
sekarang, itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi sumber daya alam. Gubernur
Kepulauan Riau juga, yang kemarin. Kasusnya itu korupsi izinan reklamasi.
Nah, kalau kita mendata satu per satu
kasus-kasus ini, kita akan semakin banyak menemukan fakta di lapangan bahwa
kepemimpinan politik hari ini masih minus legitimasi moralnya. Padahal,
kepemimpinan yang legitimasinya moral itu sebetulnya penting untuk bisa
menangkap kegelisahan masyarakat atau untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan
dan cita-cita masyarakat. Tetapi pemimpin-pemimpin kita tidak melihat itu.
Kepemimpinan politik yang jauh dari
harapan rakyat de facto membuat persepsi publik tentang kepemimpin
politik melorot. Bagaimana tanggapan Anda?
Ya, saya kira efeknya memang ke situ.
Misalnya, pada pemilu 2019 kemarin, ada banyak yang golput. Alasan orang golput
sesungguhnya bukan semata-mata karena orang liburan atau karena lagi tidak ada
di tempat. Itu sebenarnya sebuah pilihan ideologis.
Kenapa? Itu karena kepemimpinan
politik saat ini dianggap tidak akan bisa menyelesaikan persoalan masyarakat.
Itu semacam bentuk perlawanan, sebab masyarakat melihat calon-calon itu bukan
bagian dari solusi, bahkan mungkin akan menambah rumit masalah. Jadi, fenomena
golput itu menggambarkan rendahnya kepercayaan publik terhadap kepemimpinan
politik kita saat ini.
Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi.
Hal ini harus dilihat sebagai tantangan sekaligus PR bagi proses demokrasi di
Indonesia yang masih belum matang. Masih ada banyak hal yang harus diperbaiki.
Apakah Anda menemukan faktor lain
yang menyebabkan rendahnya kepercayaan publik terhadap kepemimpinan politik dan
proses demokrasi di negeri ini?
Faktor lainnya itu soal
ketidakjelasan ideologi partai-partai politik. Saya pernah bertemu dengan
kawan-kawan di Uni Eropa dan sempat ngobrol dengan mereka.
Di Eropa itu ideologi partai-partai
politiknya jelas. Misalnya saya mewakili Partai Hijau, maka ideologi saya itu
jelas. Saya akan menolak kebijakan-kebijakan yang dianggap mengeksploitasi
alam, seperti tambang, sawit, dan sebagainya. Maka, pendanaannya (untuk
kebijakan-kebijakan itu) juga didorong untuk dihentikan.
Saya juga pernah bertemu dengan kawan-kawan
dari Partai Buruh Skotlandia. Mereka bercerita tentang bagaimana mereka
betul-betul melakukan pembelaan terhadap hak-hak buruh, juga hak-hak kaum
diasbilitas, minoritas, imigran, dll. Itu menjadi concern mereka. Jadi,
spektrum ideologinya itu jelas, sehingga ada kejelasan juga dalam perjuangan
politiknya.
Nah, kejelasan ideologis seperti itu
yang tidak kita temukan di Indonesia saat ini. Coba kita lihat partai-partai
yang ada di Indonesia sekarang ini, praktis tidak ada perbedaan setelah mereka
berkuasa. Tidak ada yang betul-betul membedakan ideologi partai yang satu dari
partai yang lainnya.
Ini yang menjadi problem di Indonesia
sekarang ini. Jadi, selain tiadanya jangkar moral dalam kepemimpinan politik,
ketidakjelasan ideologi ini turut melemahkan kepercayaan publik terhadap proses
demokrasi kita.
Lantas, bagaimana memulihkan
kepercayaan publik terhadap kepemimpinan politik dan proses demokrasi sekarang
ini?
Memang tidak mudah untuk memulih
kepercayaan publik ini ya. Butuh waktu yang tidak sebentar. Tetapi, menurut
saya, poinnya begini.
Pertama,
para pemimpin politik itu harus membuka kembali literatur yang benar tentang
politik atau kepemimpinan politik itu sendiri, atau tentang kenapa bangsa ini
didirikan, apa mandat utama sejak didirikannya bangsa ini.
Kedua,
para pemimpin politik penting untuk “meletakkan telinganya di bumi”. Maksudnya,
para pemimpin politik harus betul-betul memahami dengan benar apa yang menjadi
persoalan real masyarakat.
Ketiga,
pemimpin tidak boleh menjadi perpanjangan tangan pihak ketiga atau pihak
investor, tetapi menjadi perpanjangan tangan masyarakat yang nasibnya mereka
perjuangkan. Mereka sadar bahwa legitimasi kepemimpinan mereka terletak pada
moralitas mereka. Maka, harus ada kemauan untuk mendengar dan merasakan apa
yang menjadi harapan masyarakat.
Keempat,
para pemimpin itu perlu membuka kembali pesan-pesan moral agama yang mereka anut,
yang penting untuk kemaslahatan masyarakat. Pesan-pesan moral itu penting
dikaji lagi di tengah kuatnya politik transaksional di negara kita sekarang ini,
supaya para pemimpin kita itu mendengarkan hati nuraninya sendiri.
Mereka perlu melibatkan
pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam membuat kebijakan publik terkait
hajat hidup orang banyak. Hal-hal ini, menurut saya, penting dilakukan.
Selama ini Anda banyak terlibat dalam
advokasi dan animasi terhadap masyarakat akar rumput, khususnya para nelayan
dan penduduk di daerah pesisir. Apa sebenarnya harapan terbesar mereka untuk
para pemimpinnya?
Harapan mereka sebenarnya sederhana. Pertama,
pemimpin itu jangan mengeluarkan kebijakan yang merampas ruang hidup rakyat.
Mereka inginkan pemimpin melahirkan kebijakan yang mendorong keberlanjutan
lingkungan, khususnya laut, serta mendorong kemajuan organisasi sosial mereka.
Kedua,
pemimpin perlu mengeluarkan kebijakan yang mendukung sistem ekonomi mereka,
seperti koperasi. Harus diperkuat itu. Juga institusi sosial mereka. Semuanya
harus diperkuat. Jadi, harapan mereka sebenarnya sesederhana itu.
Intinya, masyarakat mengharapkan
perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah. Perlindungan itu tentu bermacam-macam.
Bisa perlindungan dari ancaman ekstraktif. Perlindungan keberlanjutan usaha.
Dilindungi alamnya. Dan dilindungi institusi sosialnya.
Soal pemberdayaan, bisa berupa
peningkatan kapasitas, alih teknologi, pendidikan, pemberdayaan perempuan
nelayan, dan macam-macam. Saya kira itu sebetulnya yang menjadi harapan
masyarakat.
Lantas, semangat atau spirit apa yang
seharusnya dimiliki dalam sebuah kepemimpinan politik?
Yang pertama sekali itu, kepemimpinan
politik perlu perkuat jangkar moralnya, supaya para pemimpin kita itu
betul-betul merasakan apa yang dirasakan rakyat. Ia tidak terpisah dari
persoalan yang dihadapi masyarakat.
Yang kedua, para pemimpin politik itu
jangan memiliki kepentingan sendiri. Mereka harus menjadi kepanjangan tangan
dari agenda masyarakat.
Yang ketiga, pemimpin politik harus
mempunyai kejelasan ideologi, dalam hal memperjuangkan kepentingan masyarakat,
termasuk pembelaan terhadap masyarakat serta menjamin keberlanjutan lingkungan.
Hal ini penting karena percepatan
krisis ekologi sekarang semakin parah. Ini nanti punya akibat pada krisis
pangan, krisis air, krisis energi (karena selama ini kita tergantung pada
energi fosil). Maka, pemimpin harus bisa menangkap persoalan yang akan terjadi
di masa yang akan datang.
Pemimpin harus mempunyai kemampuan
memprediksi apa yang terjadi pada masa akan datang, agar dia bisa
mengantisipasinya dari sekarang. Saya kira para pemimpin kita harus memiliki
semangat dan kemampuan-kemampuan itu. (Pewawancara: Joan Udu)
(Wawancara ini pernah dimuat dalam Majalah
Gita Sang Surya, edisi September-Oktober 2020)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment