Gagasan
Obral Ide
Joan Damaiko Udu
Jakob Oetama, Sosok "Manusia Pancasila"
Setelah membaca
beberapa buku dan sejumlah ulasan menarik di Kompas (10-11/9/2020) tentang Jakob Oetama, saya langsung punya
satu kesan kuat: Jakob Oetama adalah sosok humanis sejati. Menariknya, ia
mempromosikan sekaligus memperjuangkan nilai-nilai humanis itu melalui
jurnalisme Kompas yang sejuk, santun,
dan mendalam. Di tangannya, jurnalisme betul-betul menjadi instrumen independen
dan terpercaya dalam menyuarakan suara rakyat dan memperjuangkan kemanusiaan
sejati.
Manusia Sejati
Keberpihakan Jakob
pada kemanusiaan tercermin dalam pemberitaan dan opini-opini Kompas yang selalu menawarkan pemikiran
alternatif dalam mengusahakan kebaikan umat manusia. Kompas selalu menawarkan kedalaman, dengan mengedepankan tujuan
edukatif bagi masyarakat luas. Ini tentu tidak terlepas dari peran, ketokohan,
dan keteladanan Jakob selaku pendiri sekaligus pemimpin media cetak dengan
tiras terbesar di Indonesia ini.
Dengan bertumpu
pada pemikiran dan nilai-nilai luhur yang diwariskan Jakob, Kompas dapat terus eksis mencerdaskan
manusia-manusia Indonesia hingga hari ini. Karakter Kompas yang “tenang” dan “sejuk”, yang juga mencerminkan karakter
Jakob, membuatnya mudah diterima hampir semua kalangan masyarakat di Indonesia.
Karakter itu pun terbukti mengantar Kompas
menjadi raja industri media di Indonesia.
Namun, keberhasilan
ini tidak lantas membuat Jakob jemawa. Bagi Jakob, keberhasilan Kompas adalah buah dari kerja sama,
keberuntungan, dan rahmat Tuhan. Inilah bentuk kerendahatian seorang Jakob yang
tiada henti menginspirasi Indonesia. Ia tidak pernah merasa “cukup diri” (self-sufficient) dan tidak pernah bangga
berlebihan dengan dirinya.
Jakob selalu
melihat kemungkinan peran orang lain dalam hidupnya dan terutama lagi peran
Tuhan yang biasa ia sebut sebagai “penyelenggaraan ilahi” (Providentia Dei). Dengan ini, ia tidak hanya menjadi sosok yang
humanis, tetapi juga sosok manusia sejati, yang tahu menjaga hubungan seimbang
dengan diri sendiri (relasi internal), dengan orang lain (relasi horizontal),
dan dengan Tuhan (relasi vertikal). Buah dari keseimbangan itu amat tampak
dalam kepribadian Jakob yang tenang, sabar, santun, jujur, punya komitmen, dan
penuh integritas.
Jakob terbukti mengintegrasikan
dengan baik ketajaman pikiran dan keluasan hatinya, kecerdasan dan kepekaan
sosialnya, kebebasan dan tanggung jawab nuraninya, kesabaran dan komitmen
pribadinya, keimanan dan kecintaannya akan kemanusiaan. Inilah seninya menjadi
manusia versi Jakob Oetama: “Orang hidup dalam makna, artinya hidup di atas
validitas yang lengkap, yakni validitas akal sehat, estetik, etis, dan
religius”, sebagaimana dijelaskannya dalam pidato promosi untuk memperoleh
gelar doktor honoris causa di bidang
komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (2003).
Falsafah itu, yang
dikutipnya dari Paul Tillich, seorang teolog Jerman-Amerika dan seorang filsuf
eksistensialis Kristen, turut memengaruhi konsep jurnalisme makna yang
dipopulerkannya. Berbasiskan falsafah itu, ia menjadikan Kompas sebagai media yang berimbang dan terpercaya, yang tak pernah
letih membela kemanusiaan dan hak-hak kaum papa. Dengan ini, Kompas betul-betul tampil sebagai
“amanat hati nurani rakyat”, corong bagi rakyat yang memperjuangkan kebebasan,
kesetaraan, dan persaudaraan.
Manusia sebagai Subyek
Dengan menjadi
media penyalur suara rakyat, Kompas
yang dipimpin Jakob ikut memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam
arti yang sebenarnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari kesadaran personal
Jakob bahwa setiap manusia secara fundamental memiliki hak untuk mendapatkan
hidup yang layak. Oleh karena itu, setiap orang harus diperlakukan secara adil dan
beradab demi tercapainya kebaikan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, haram
hukumnya untuk membeda-bedakan orang menurut suku, agama, ras, dan golongannya.
Setiap orang harus diperlakukan secara berperikemanusiaan, dengan menjamin
kebebasan pribadi dan kebebasan berekspresi mereka. Maka, negara pun harus
memastikan, setiap warga negara hidup menurut martabat kemanusiaannya dan saling
menghormati dalam semangat toleransi.
Dalam rangka itu,
menurut Jakob, pembangunan nasional harus bermuara pada suatu tujuan holistik,
yaitu membangun masyarakat yang berkemanusiaan secara adil dan beradab; membangun
masyarakat negara-bangsa yang bersatu; membangun kerakyatan yang bermekanisme
musyawarah dan perwakilan; dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
(Tajuk Rencana Kompas, 28 Juni 1990).
Dengan kata lain,
pembangunan nasional harus mampu mendukung terwujudnya sistem masyarakat Pancasila
di Indonesia, yaitu sistem masyarakat yang religius, humunis, nasionalis-pluralis,
demokratis, adil, dan egaliter. Sistem masyarakat macam ini diyakini Jakob—mengutip
ahli filsafat Nicolaus Driyarkara (1913-1967)—dapat “memanusiakan manusia”
Indonesia.
Dengan ini, dapat
dilihat, Jakob secara serius menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan
sekaligus sebagai tujuan dari pembangunan itu. Manusia, bagi Jakob, tidak pernah
boleh diperlakukan sebagai obyek pembangunan. Ia menempatkan nilai manusia dan
kemanusiaan di atas segala harga, yang tak bisa ditukar atau dimanipulasi
dengan alasan apa pun. Sikap moral macam ini tercermin dalam banyak tulisan
Jakob di Kompas, yang seringkali
sejuk, mendalam, dan penuh rasa kemanusiaan.
“Manusia Pancasila”
Penghargaan Jakob pada
martabat manusia tidak muncul dengan sendirinya. Penghargaan itu merupakan
ungkapan nyata dari penghayatan pribadinya akan suatu model humanisme yang
khas, yaitu humanisme transendental. Hal ini diakui Jakob ketika diwawancarai
oleh Kees de Jong yang pada 1990 melakukan penelitian tentang Kompas untuk memperoleh gelar doktor di
Universitas Nijmegen (Kompas,
11/9/2020).
Lewat humanisme
transendental, Jakob hendak menjadikan Kompas
sebagai corong untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme),
dengan tetap mengharapkan kepenuhannya dari rahmat Tuhan (transendental).
Dengan demikian, keberpihakan Jakob pada kemanusiaan merupakan buah dari keterbukaannya
pada realitas di luar dirinya, baik itu realitas ilahi yang menaunginya maupun
realitas dunia yang terus mengusik hati nuraninya. Keterbukaan ini membawa
Jakob pada pengalaman kemanusiaan, yang menjadi pokok perhatiannya.
Maka, dari
kesaksian hidup Jakob, kita pun akhirnya bisa melihat dialektika menarik dari
keberadaan ideal sebagai manusia Indonesia: religius sekaligus humanis,
egaliter sekaligus beradab, nasionalis sekaligus pluralis, demokratis sekaligus
adil. Inilah model keberadaan ideal sebagai “manusia Pancasila”.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment