Saintisme Tunggang Langgang
Tanggapan untuk Kawan-kawan yang Terlampau Mengglorifikasi Sains
Joan Damaiko Udu
Di tengah masifnya ekspansi Covid-19, gejala yang biasa disebut ‘saintisme’ kembali mencuat ke permukaan. Gejala ini menguat seiring munculnya gelombang klaim yang melihat sains sebagai satu-satunya “jawaban” atas seluruh persoalan hidup manusia.
Gejala
itu makin kentara dalam polemik sains baru-baru ini di media sosial Facebook, yang diinisiasi oleh Goenawan
Mohamad dan A.S. Laksana, yang kemudian diikuti beberapa tokoh lain. Beberapa
orang dalam polemik tersebut mengklaim sains sebagai jenis pengetahuan
terbaik yang kita miliki sejauh ini. Bahkan, ada yang melihatnya sebagai representasi pengetahuan yang sempurna.
Klaim ini kurang
lebih menggambarkan kredo populer saintisme: “Hanya sains yang bisa menjelaskan
seluruh peristiwa alam semesta secara meyakinkan, termasuk peristiwa hidup manusia.”
Posisi sains diabsolutkan sedimikian rupa, bahkan diklaim sebagai semacam jalan
menuju keselamatan di Bumi. Siapa yang menguasai sains atau yang percaya pada
prediksi-prediksinya akan beroleh keselamatan. Sementara mereka yang
mengabaikan prediksi sains akan cederung ceroboh dan akhirnya menderita oleh
karena kecerobohannya sendiri.
Klaim itu memang
sulit disangkal, khususnya selama masa pandemi Covid-19 ini. Prediksi para ahli
sains terbukti sangat membantu kinerja para petinggi negara, khususnya dalam
mengambil kebijakan publik di masa wabah. Ini menjadi bukti bahwa sains cukup
bisa menjadi tuntunan yang baik bagi hidup kita. Sampai pada titik ini, sains
sungguh memudahkan kehidupan, bahkan membawa kehidupan itu pada keselamatan
yang kita dambakan.
Baca Juga: Dampak Bom Atom dan Pergulatan Eksistensial Empat Fisikawan
Lantas, apakah dengan begitu, klaim saintisme bahwa “hanya sains yang mampu menjelaskan segala sesuatu secara meyakinkan” dapat dibenarkan secara nalar? Apakah cuma sains yang dapat menghasilkan bahasa yang tepat dan adekuat dalam mendeskripsikan realitas? Jika begitu, apakah itu menjadi tanda kelumpuhan agama, filsafat, atau ilmu-ilmu humaniora?
Beberapa Pertimbangan
Kita tentu tidak
menampik keberhasilan sains dalam memberikan penjelasan-penjelasan revolusioner
tentang alam semesta, juga tentang kehidupan manusia. Sains, khususnya dalam perkembangan
dua abad terakhir, berhasil menyingkapkan visi baru mengenai kosmos serta membantu
kita mengorientasikan kehidupan. Namun, klaim bahwa sains adalah segalanya, sebagaimana
kredo saintisme dewasa ini, menurut saya, tidak pada tempatnya. Saya memiliki
tiga alasan untuk itu.
Pertama, tidak selamanya sains memberikan jawaban meyakinkan tentang realitas.
Informasi saintifik tentang Covid-19, misalnya, sekalipun cukup membantu kita
mengantisipasi virus, namun seringkali kurang meyakinkan. Goenawan Mohamad,
penulis “catatan pinggir” Majalah Tempo,
memberikan contoh menarik perihal itu di halaman facabook-nya pada 17 Mei 2020.
“Apa yang kemarin
kita ketahui tentang Covid-19,” begitu tulisnya, “hari ini tak sebulat
sebelumnya. Pernah dikatakan sang virus tak akan membunuh anak-anak. Tapi baru-baru
ini, di kota New York, bocah berumur lima tahun mati dengan gejala tertular.
Pernah dikatakan, kita harus tinggal di rumah, tapi kemarin ada berita, di
rumah pun tak ada jaminan selamat.”
Hal ini setidaknya
memperlihatkan satu hal: tak selamanya para ilmuwan memberikan informasi yang
meyakinkan perihal suatu gejala. Kita memang akui, sains mempunyai prinsip falsifiability, di mana kebenarannya
selalu bisa diuji kembali melalui riset, eksperimen, atau uji laboratorium.
Namun, bukankah itu justru menunjukkan bahwa kebenaran dalam sains itu tak
pernah pasti dan final? Jika begitu, bagaimana mungkin klaim para penganut
saintisme bahwa “hanya sains yang bisa menjelaskan realitas secara tepat dan
meyakinkan” bisa diterima secara nalar?
Dalam sains,
banyak kesimpulan riset yang dibuat berdasarkan perhitungan probabilitas. Dalam
teori kuantum, misalnya, dengan prinsip ketidakpastian dari fisikawan W. Heisenberg,
orang akan dikondisikan untuk mendeskripsikan gerakan partikel-partikel
elementer (seperti elektron-elektron) hanya berdasarkan perhitungan
probabilitas itu (Leahy, 2006:14). Alasannya, kegiatan pengukuran itu sendiri
mencakup banyak fenomena yang “mengganggu” sistem yang sedang diteliti sehingga
sulit dipastikan sebelumnya bagaimana sistem itu akan berevolusi.
Demikian juga
fenomena auto-organisasi materi, planet-planet, makhluk hidup, dll di alam
semesta tidak selalu bisa diprediksi secara pasti, sebab fenomena itu
menyangkut peranan konstruktif sebuah “kebetulan” di bawah pengaruh energi. Sains
jelas mampu mendeskripsikan peranan konstruktif “kebetulan” itu, namun tak bisa
memprediksikannya secara pasti dan meyakinkan.
Kedua, karena sains memiliki karakteristik falsifiability dan bekerja menurut perhitungan probabilitas, maka
sains tak selamanya mampu menghasilkan bahasa yang tepat dan adekuat dalam
mendeskripsikan realitas. Sejak teorem Godel, yang biasa disebut teorem indesidibilitas (ketidaktertentuan),
klaim “kepastian saintifik” sudah diruntuhkan.
Teorem Godel
antara lain memperlihatkan bahwa dalam semua sistem yang mengandung aksiomatika
bilangan-bilangan bulat, ada beberapa pernyataan yang tak bisa didemonstrasikan
atau dibenarkan (Leahy, 2006:14). Ini dikarenakan tak ada fenomena-fenomena
murni yang bisa membuktikan pernyataan-pernyataan teoretis tanpa mendua arti,
terutama jika pernyataan-pernyataan itu bersifat kompleks. Konsekuensinya,
pernyataan-pernyataan saintifik tidak selalu bisa menggambarkan realitas secara
tepat dan pasti.
Ketiga, sains hanya bisa menimbulkan permasalahan makna, tetapi tak bisa memberikan jawaban meyakinkan tentang dasar
ontologis makna. Mengapa ada sesuatu daripada tak ada apa-apa? Mengapa manusia
harus ada dan apa maksud keberadaannya? Apa hikmah yang kita ambil dari
realitas pandemi? Dari pihak sains, tak ada jawaban soal itu. Itu karena sains
hanya bisa bekerja secara teknis dan operasional, misalnya untuk menyelidiki
bagaimana suatu realitas muncul, berapa umurnya, unsur-unsur apa yang
terkandung di dalamnya, dll.
Dari penyelidikan
itu, sains bisa saja membawa kita pada suatu makna tertentu, tetapi tak pernah
bisa membahasakan makna itu. Pertanyaan tentang makna segala sesuatu tak tercakup dalam metodologi sains. Itu
artinya sains bukanlah segalanya, sebab nyatanya ia tak bisa menjelaskan semua
hal, terutama perihal makna. Maka, saintisme menjadi tunggang langgang (semacam
juggernaunt versi Anthony Giddens),
bergerak tanpa kendali ke luar batas-batas metodologis sains, ketika mengklaim
hanya sains yang bisa menjelaskan segala
sesuatu secara meyakinkan.
Membangun Keterhubungan
Untuk menemukan
makna dari sebuah gejala, diperlukan refleksi jenis lain, seperti refleksi
filosofis atau refleksi religius dalam agama. Sebab makna selalu bersifat
reflektif dan meta-empiris, dan sains tak dapat menjangkau itu. Oleh karena
itu, di hadapan persoalan makna, kita harus menyadari keterbatasan metodologi
sains. Untuk itu, sains seharusnya tak boleh merasa “cukup-diri” (self-sufficient), seperti tampak dalam
saintisme, tetapi harus membangun keterhubungan dengan disiplin ilmu lain. Maka,
tuntutan akan kerja sama transdisiplin menjadi mendesak di sini.
Kerja sama ini bukan bermaksud untuk menciptakan
disiplin baru atau untuk merumuskan kesepakatan final, melainkan untuk
melampaui keterbatasan metodologis masing-masing sekaligus untuk mencari
koherensi narasi mengenai beragam gejala pengalaman manusia. Dengan demikian,
upaya mencari kebenaran tak hanya menyangkut perkara objektivitas, tetapi juga
melibatkan dialog metodologis dan kerja sama transdisipliner pelbagai bidang
pengetahuan dalam bahasa yang dibagi bersama.
Ya idealnya sains dan teologi harus bisa berdialog untuk menciptakan sebuah iklim yang mampu saling menghargai dan mengakui batasan-batasannya.
ReplyDeleteYa, saya sepakat. Terima kasih untuk tanggapannya sdr
DeletePijakan yang positvistik memang perlu diperjumpakan pada aspek² pardigma lainnya, terutama dalam kerangka makna. Dalam hal ini, saya berpikir bahwa batasan ranah perlu diakui terkait kebutuhan kehidupan manusia.
ReplyDeleteTerima kasih untuk tanggapannya
Delete