Cerpen
Sastra
Perempuan Halte Honda
![]() |
sumber foto: fajar indonesia network |
Virgilius Hesron, OFM
Saban hari, sejak aku kembali
ke Ibu Kota, pemandangan menarik menyita perhatianku. Seorang perempuan
kira-kira berusia 50-an tahun selalu menyambangi halte depan rumah kami. Aku
menyaksikannya dari balik pagar biru rumah. Sehari bisa 3 atau 4 kali ia
bolak-balik di halte itu.
Sebenarnya tidak ada banyak
hal yang ia lakukan di halte selain hanya duduk mematung menikmati kendaraan
yang berseliweran di jalanan kota. Sesekali ia mengatur rambutnya yang tak
beraturan tertiup angin. Tampak mahkota kepalanya mulai memutih. Beberapa kali
di siang bolong perempuan itu menikmati es teh manis yang terisi dalam plastik
bening.
Sore menjelang malam
bersamaan dengan suara azan magrib dari masjid belakang rumah kami, ia kembali
ke tempat yang sama. Bukan kebetulan juga aku menyaksikan lakon perempuan di halte
itu. Sore hari sehabis mandi, sebelum ibadat sore, aku biasanya menikmati senja
Jakarta dari balik pagar ditemani kopi hitam dan beberapa batang Sampoerna Avolution.
Entah kenapa juga, akhir-akhir ini saya cukup menikmati keteng jenis ini,
padahal waktu di negeri batas sana, teman setia saya adalah Sampurna Merah,
berisi 16 batang sigaret.
Dua minggu sudah saya
menikmati Ibu Kota yang sedang diserbu pandemi meski orang-orangnya tak mau
peduli. Pemandangan yang sama pasti selalu terjadi entah pagi, siang, apalagi
sore hari. Perempuan itu menjadi penunggu setia di halte depan. Hmmm...dia juga
terbilang dalam orang-orang Ibu Kota yang tak ambil pusing dengan pandemi. Tak
sekalipun aku melihatnya mengenakan masker manakala ia duduk menikmati kotanya
dari halte itu.
Awal mulanya aku mengira ia
sedang menunggu bus Transjakarta yang selalu melintas dan berhenti sesaat di
halte itu. Oh, nama halte itu Halte Honda. Mungkin karena berdekatan dengan
dealer Honda yang berdampingan dengan rumah kami.
Kukira perempuan itu hendak
berpergian atau hendak pulang. Rupa-rupanya dugaan itu keliru. Perempuan itu
adalah penunggu setia Halte Honda, aku menyebutnya saja demikian.
***
Mungkinkah ia sedang
menunggu seseorang? Mungkinkah perempuan itu pernah dijanjikan terjadi
perjumpaan di Halte Honda? Adakah seseorang di seberang sana pernah
menghubunginya untuk bersua? Atau adakah seseorang dari familinya menjanjikan
akan datang menjemputnya? Adakah seseorang yang dinantikan itu adalah masa lalu
yang pernah bercerita tentang masa depannya?
Kalau demikian adanya,
perempuan itu pasti sangat mengharapkan itu terjadi. Atau sekurang-kurangnya
masih memelihara harapan akan terpenuhinya janji masa lalu itu. Lantas Halte
Honda akan selalu mengingatkan dia pada janji masa silam.
Mungkin juga pernah ada
peristiwa di mana Halte Honda adalah ruang romantis yang disedikan semesta bagi
perempuan itu dan lelaki di masa lalunya. Kalau itu benar, halte itu menyimpan
aneka peristiwa, cerita, kenangan romantis pada masanya.
Manakala ia mengingat sosok
idamannya, Halte Honda seakan-akan memanggilnya. Ada ikatan emosional antara
halte dan perempuan itu, yang sesewaktu ingin kembali dinikmati. Dengan duduk
di halte itu saja, ia sudah merasakan kembali perjumpaan. Halte Honda menjadi
monumen hidup bagi perempuan itu. Kalau demikian, alangkah beruntungnya
perempuan itu. Ia dapat menelusuri kisah dan jejaknya melalui Halte Honda.
Atau bisa jadi ceritanya
berbeda. Perempuan ini sudah terlanjur kecewa dengan janji perjumpaan yang tak
kunjung tiba. Bahkan ia sudah tahu, peristiwanya tidak akan pernah terjadi lagi
lantaran yang ditunggu sudah memberi kepastian bahwa yang pernah terbilang itu
adalah khayalan semata. Dan perempuan penikmat padatnya jalanan Ibu Kota itu
menimbun kekesalan mendalam hingga membuatnya merasa tertekan dan akhirnya
stress. Kalau demikian, alangkah pedihnya penderitaan perempuan itu.
Betapa rasa kehilangan
menguasai dirinya dan tak satu pun yang dapat melepaskannya dari keterikatan
itu. Ia terperangkap pada kisah masa lalu yang berlimpah janji manis. Sekarang
ia terkekang oleh hasrat untuk mengalaminya kembali. Lantas, Halte Honda menjadi
ruang harapan, yang sebenarnya sia-sia, untuk menghibur dukanya tanpa pernah
mengubur pahitnya kenangan pilu.
Halte Honda adalah ruang
bisu bagi perempuan itu, baik sebagai fakta maupun sebagai gambaran. Sebagai
fakta, Halte Honda menjadi tempat orang menunggu kendaraan. Tidak sedikit orang
menggunakan halte itu untuk sekadar berteduh dari panasnya Jakarta setelah
sekian jauh menjajakan jasa sol sepatu, mendorong gerobak penuh barang bekas,
atau sekadar istirahat merokok setelah makan siang para pekerja bengkel di
sekiatar situ.
Tak jarang, perempuan itu
berada di antara mereka, walau ia selalu diam tak berkata. Sekalipun ia tidak
bersuara, entah menyapa sekadar basa basi, entah menimpali guyonan pekerja
bengkel. Ia benar-benar menikmati kesendiriannya meski bersama yang lain.
Sebagai gambaran, Halte
Honda seolah-olah menjadi tempat yang nyaman bagi perempuan itu menyimpan
kenangan, janji, masa depan, atau apapun yang batinkannya. Halte dengan dua
tiang penyangganya serta tempat duduk berkeramik dengan atap melengkung adalah
teman setia si perempuan. Seakan-akan halte itu adalah sandaran empuk bagi
perempuan itu. Halte seperti pribadi yang memahami perasaannya. Mungkin dalam
diamnya ia berterima kasih kepada Halte itu, yang menjadi satu-satunya tempat
untuk sekadar bernostalgia.
***
Entah apa pun yang dialami
perempuan penunggu halte itu kiranya mewakili kondisi segelintir manusia
manakala diliputi perasaan negatif. Gunda gulana, kecewa, gamang, pedih,
terluka, tersakiti, dan apapun boleh jadi sesewaktu menguasai seluruh diri
manusia. Lantas, menimbulkan suasana batin dan pikiran yang kacau. Bahayanya
adalah munculnya perilaku yang tidak biasa.
Tanpa kontrol dan
pengendalian yang kuat, orang tak mampu lagi menghayati keseharian. Kontrol
emosi yang baik mampu mengatasi pengalaman negatif. Pengendalian diri yang
mumpuni melepaskan orang dari halusinasi dan khayalan-khayalan semu. Hidup
terlalu mahal untuk dihabiskan atau diluluhlantahkan oleh emosi tak beraturan.
Sekali lagi diri kita butuh semacam kekuatan untuk bertahan.
Perempuan yang dikisahkan
mengabaikan mulianya hidup beserta pengalaman yang melingkupinya. Butuh daya
upaya yang cukup untuk mengolah peristiwa hidup. Semacam daya gerak untuk tetap
mampu melewati suasana kebatinan yang rapuh. Komitmen dan tekat sekokoh tiang
penyangga bangunan akan selalu mampu menangkal emosi sesaat. Daya-daya itu ada
pada setiap pribadi. Hanya butuh keseriusan dan keuletan untuk merawatnya.
Akhirnya, masa lalu, masa
sekarang, dan masa yang akan datang adalah wujud utuh dari keberadaan
seseorang. Masa-masa itu adalah waktu bersejarah. Bersamaan dengan itu,
kematangan pribadi terbentuk. Tak ada yang sia-sia dan apalagi terbuang.
Rentetan peristiwa menjadi serial yang akan selalu berulang bahkan meninggalkan
kekayaan makna. Waktu yang ada dan akan selalu ada membentuk ikatan dan akan
berujung pada kesimpulan akhir saat Sang Waktu menyerukan: "SELESAILAH
SUDAH".
“Beranilah membangun ikatan pada setiap waktu dan peristiwa sembari
menyematkan makna di dalamnya."
Ibu Kota, 25 Juli '20
Virgilius Hesron, OFM, biarawan Fransiskan, Pastor Rekan di Paroki Laktutus, Keuskupan
Atambua, NTT
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment