Gagasan
Ulasan Buku
Joan Udu
Menyingkap Wajah Damai Agama di Indonesia
![]() |
sumber foto: www.youtube.com/watch?v=Q3U5pSo4QRs |
Joan Udu
Judul
buku : Menyingkap Wajah Damai Agama
Penulis : Kautsar Azhari Noer
Penerbit : Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu
Ushuluddin (Hipius)
Tahun
terbit : 2019
Tebal : X + 251
Manusia pada
dasarnya ingin hidup aman, damai, bahagia, dan sejahtera. Namun, keinginan
untuk hidup seperti itu tidak mungkin terwujud bila di dalam masyarakat sering
terjadi kerusuhan dan kekerasan.
Selama beberapa
tahun terakhir, misalnya, kita menyaksikan banyak peristiwa intoleransi dan
gesekan antaretnis, antarkelompok, dan antaragama di Indonesia. Aneka peristiwa
sosial ini meningkatkan intensitas dan eskalasi kekacauan sosial di dalam
masyarakat kita.
Kekacauan itu
semakin meruncing tatkala umat beragama juga mengalami kemerosotan akhlak dan
pendangkalan spiritualitas. Fenomena kebangkitan agama Islam, misalnya, yang seringkali
disertai aksi kekerasan, membuat tatanan hidup bersama kita semakin runyam dan
terbelah.
Selain itu,
fenomena itu juga telah menghilangkan, atau paling tidak, merusak wajah asli
Islam, yaitu wajah damai, ramah, sejuk, dan teduh. Hal ini pun akhirnya
menimbulkan kesan bahwa penghayatan iman keagamaan kita di republik ini masih
dangkal, masih sebatas ritual, dan belum terlalu
berdampak pada sikap dan perilaku sehari-hari. Agama seakan berjalan tanpa roh,
tanpa spirit, tanpa suatu spiritualitas yang kuat dan jelas. Persis
hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis moral dan akhlak di negara ini
selama ini.
Lantas, apa yang
mesti kita lakukan di tengah fenomena krisis ini? Menurut Kautsar Azhari Noer,
dalam bukunya, Menyingkap Wajah Damai Agama, tak ada hal lain yang bisa
kita lakukan selain terus berusaha menyingkap wajah asli Islam itu dan juga wajah
damai agama pada umumnya.
Baca Juga: Agama Tidak Mati Gaya
Kita diajak untuk
selalu berusaha menampilkan Islam yang berwajah damai, ramah, sejuk, dan teduh dengan
bukti-bukti nyata dalam kehidupan bermasyarakat (hlm. 2). Pesan sejati agama,
yang pernah ditebarkan para nabi dan para bijak, harus selalu dipromosikan: kasih
sayang, kerukunan, persaudaraan, persatuan, dan kepedulian terhadap sesama. Agama
harus konsisten mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur itu.
Agama tidak boleh
berubah dari sumber kasih sayang menjadi sumber kebencian, apalagi sumber
kekerasan dan permusuhan. Agama mesti selalu kukuh memperjuangkan kemanusiaan
dan mewartakan persaudaraan universal bagi seluruh umat manusia. Itu artinya
tugas agama semestinya juga menjadi tugas setiap individu, yaitu untuk membangun
harmoni dengan menjadi manusia yang berkarakter baik dan berakhlak. Hal ini
menjadi langkah awal menuju pembangunan karakter masyarakat dan bangsa, sebab
masyarakat dan bangsa adalah kumpulan individu-individu sebagai anggota-anggota
yang membentuknya (hlm. 15).
Untuk sampai pada
cita-cita itu, cara terbaik, meskipun berproses lama, adalah tasawuf, karena
intisari tasawuf pada hakikatnya adalah akhlak mulia (hlm. 37). Kemuliaan
akhlak tergantung pada penyucian jiwa. Jika seseorang mampu menyucikan jiwanya
dari sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia akan mudah menghiasi
jiwanya dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan mulia dan terpuji.
Jika ia
mampu membekali dirinya dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan mulia dan
terpuji, maka ia akan mencapai akhlak mulia. Orang seperti itu adalah
orang-orang yang “berakhlak dengan akhlak Allah,” berakhlak dengan nama-nama
Allah, berakhlak dengan sifat-sifat Allah. Mereka biasanya lebih menekankan
sikap-sikap cinta, kasih sayang, damai, lemah-lembut, ramah, mengalah, pemaaf,
dan sikap-sikap lain yang terpuji (hlm. 38).
Orang yang
berakhlak mulia selalu merasakan kehadiran Tuhan dan karena itu ia akan
berperilaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan Tuhan. Orang yang berakhlak mulia
menjauhi sikap-sikap serakah, rakus, mementingkan diri sendiri, kebencian,
permusuhan, dengki, dan sikap-sikap lain yang tercela. Karena itu, orang yang
berakhlak mulia tidak akan melakukan korupsi, penipuan, perampokan, peledakan
bom, kerusuhan, pembunuhan, perzinahan, perjudian, pembakaran, dan
perbuatan-perbuatan jahat lain yang potensial menimbulkan kekacauan sosial
dalam masyarakat.
Orang yang
berakhlak mulia, dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan selalu
menghargai dan menghormati satu sama lain dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (HAM). Dengan itu, dijamin bahwa setiap individu hidup menurut prinsip
kebebasan dan persamaan dalam martabat dan hak-hak, tanpa memandang perbedaan
apa pun, seperti ras, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal
kebangsaan, latar belakang sosial-budaya, dll (hlm. 78). Orang akan betul-betul
hidup dalam harmoni dengan terus-menerus memelihara dan merawat persaudaraan
universal, termasuk dengan alam dan ciptaan-ciptaan lain.
Hal itu juga
berlaku dalam konteks hubungan agama dengan hal-hal lain, misalnya dengan
sains, filsafat, politik, budaya, kearifan-kearifan lokal, dan sebagainya. Baik agama maupun disiplin ilmu atau entitas lainnya tidak
boleh mengambil tugas yang bukan miliknya, untuk menghindari konflik. Mereka
mesti membangun kerja sama yang hangat dan saling membantu secara produktif
demi terciptanya harmoni (hlm. 142). Agama dan aspek-aspek kehidupan yang lainnya
harus bermanfaat bagi kehidupan manusia secara nyata.
Tuntutan ini penting dan mendesak karena
agama-agama dianugerahkan kepada manusia untuk menyampaikan cinta kasih Tuhan.
Cinta kasih itulah yang seharusnya menjadi dasar pijak dalam menjalin relasi
dengan sesama, bahkan dengan semua ciptaan Tuhan.
Nabi Muhammad
berkata, “Tidak seorang pun di antara kamu disebut beriman kecuali bila ia
mencintai saudaranya dengan cara ia mencintai dirinya.” Pesan Nabi Muhammad ini
pada intinya identik dengan sebuah Kaidah Emas (The Golden Rule): “Perlakukanlah
orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan oleh mereka.”
Kaidah Emas ini tentu
dapat pula ditemukan dalam agama-agama lain dengan ungkapan-ungkapan yang
beragam. Kerukunan akan jauh lebih mudah diwujudkan bila “Kaidah Emas” yang dimiliki
oleh setiap agama itu dipatuhi oleh para penganutnya (hlm. 151). Dengan
mematuhinya, orang niscaya akan menempuh “jalan keselamatan”, sebagaimana
ditawarkan agama-agama.
Keselamatan dalam
hal ini adalah tujuan hidup final dalam arti umum, yang diungkapkan dengan
istilah-istilah yang berbeda oleh agama-agama, seperti moksa dalam
Hinduisme, nirvana dalam Buddhisme, surga dalam Yahudi, Kristen,
dan Islam. Di sini, klaim kaum eksklusivis bahwa keselamatan bisa dicapai hanya
melalui satu agama, satu mazhab, atau satu aliran mesti dikoreksi. Apa yang
mereka anut adalah sikap angkuh, tidak adil, dan semena-mena, yang bertentangan
dengan pesan univesal al-Qur’an yang jelas-jelas mengakui keselamatan bagi
komunitas-komunitas lain (hlm. 165).
Kebenaran tetaplah
kebenaran dan ia bisa dimiliki oleh siapa pun bila Yang Maha Benar, yang tidak
lain adalah Kebenaran Mutlak, menghendakinya. Oleh karena itu, pengadilan dan
penghakiman, baik oleh negara maupun oleh kelompok tertentu, atas orang atau
kelompok keagamaan atau kepercayaan tertentu, dalam wilayah keagamaan,
kepercayaan, keyakinan, akidah, dan keimanan, adalah pembungkaman dan
pembatasan kebebasan beragama dan berkepercayaan (hlm. 182). Pengadilan dan
penghakiman macam itu adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang sudah
diakui secara universal, yang juga dijamin dalam UUD RI dan ajaran keagamaan
yang manusiawi dan beradab.
Jika kita
menginginkan masa depan yang cerah, yang dapat mengantarkan bangsa ini menjadi
bangsa yang terhormat dan disegani, bersikap toleran terhadap perbedaan harus
kita lakukan. Persatuan, persaudaraan, persahabatan, dan solidaritas tidak akan
ada tanpa bersikap toleran terhadap perbedaan itu (hlm. 187). Sebab persatuan
bangsa akan sulit dipertahankan tanpa demokrasi, keadilan sosial, perdamaian,
persaudaraan, solidaritas, dan toleransi. Maka, pluralisme sebagai sikap
positif yang menghargai, menghormati, dan memelihara pluralitas adalah
prasyarat terpeliharanya persatuan bangsa (hlm. 201).
Untuk itu, dalam
kehidupan bersama yang plural itu, dibutuhkan suatu dialog yang hangat dan
harmonis antaragama demi terciptanya kerukunan dalam kehidupan bersama (hlm.
225). Dalam rangka itu, agama-agama diharapkan memiliki dasar spiritualitas
yang kuat, yang mampu menggerakkan semangat kerukunan antar-warga dan
antar-agama di Indonesia. Agama tanpa spiritualitas akan menjadi semacam badan
tanpa roh.
Spiritualitas harus
memiliki akar yang kuat dalam agama demi melahirkan kedamaian, ketenteraman,
kesetiakawanan, persaudaraan, dan persatuan. Oleh karena itu, spiritualitas
harus menjiwai, menggerakan, dan mewarnai seluruh kehidupan berbangsa,
bernegara, dan beragama kita (hlm. 241). Spiritualitas tidak boleh menggeser,
apalagi menghilangkan jalur-jalur lain—seperti penegakan hukum, pembangunan
sosial, pembangunan politik, pembangunan ekonomi, dan pengembangan kebudayaan—dalam
rangka membina kerukunan.
Hal ini harus
menjadi perjuangan bersama umat beragama di seluruh Indonesia sekaligus juga
sebagai proses belajar menjadi manusia yang luhur dan berakhlak sepanjang
hayat. Dalam tradisi-tradisi keagamaan, bagi siapa pun, tidak ada usia yang terlalu
tua untuk terus belajar menjadi manusia (hlm. 250). Maka, marilah kita berjuang
bersama sebagai satu bangsa, dengan semangat dan keyakinan yang teguh, untuk
selalu menyingkapkan wajah damai agama di tanah air tercinta ini.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment