Gagasan
Obral Ide
Senjakala Dunia Anak-anak
![]() |
theasianparent.com |
Jonsen W. Nuwa*
Ada suatu kekhawatiran mendalam tentang
masa depan anak-anak manakala berhadapan dengan laju perkembangan globalisasi
media yang begitu kuat saat ini.
Pelbagai tawaran yang menggiurkan, seperti
suguhan tontonan mulai dari televisi sampai cyber
porn lewat jaringan internet menjadi ancaman yang paling serius dan nyata.
Mudahnya pelbagai tontonan ini mereka akses, meskipun secara sembunyi-sembunyi,
telah membayangi mereka dengan pelbagai bencana di masa depan.
Ketika televisi, video, film, atau
internet pada akhirnya menyingkap dan mempertontonkan segala bentuk rahasia di
depan mata anak-anak, mulai dari rahasia seksualitas, tubuh, kekerasan,
kebrutalan, kebusukan, sampai teror—rahasia-rahasia yang selama ini dengan
setia dijaga oleh setiap orang tua dari pandangan mereka—maka bahaya besar sedang
menghantui mereka.
Kini, mereka bisa mendengar, melihat, dan
bahkan melakukan hal yang sepatutnya hanya boleh didengar, dilihat, dan
dilakukan orang dewasa. Anak-anak yang kita bayangkan terikat oleh
nilai-nilai moral dan kultural yang kental berubah menjadi ilusi. Inilah awal
bencana yang akan menggerayang masa depan anak-anak kita zaman ini.
Lenyapnya Garis Batas
Terancamnya dunia anak-anak sebagai suatu tatanan sosiologis antara lain ditunjukkan oleh lenyapnya garis batas antara dunia
mereka dengan dunia orang dewasa dan orang tua. Garis batas antara suatu
“dunia” dengan “dunia” lainnya secara sosiologis ditandai oleh satu masa
transisi yang di dalamnya terdapat keharusan-keharusan perkembangan psikologis
dan sosial tertentu. Namun, batas-batas itu kini sudah semakin rapuh.
Kenyataan ini sangat kontras dengan kehidupan
masyarakat pada tiga atau empat dekade yang lalu. Di masa lalu, ada satu
rentang atau rentetan fase-fase kehidupan yang tampak jelas, yang masing-masing
tidak tercemar dan tidak saling mencemari satu sama lain, mulai dari fase bayi,
balita, puber, akil balig, dewasa, dan orang tua. Dari fase yang satu ke fase
yang lainnya terdapat suatu garis batas yang tegas.
Dunia anak-anak dan dunia puber, misalnya,
adalah dunia yang di masa lalu diselimuti oleh pelbagai rahasia, tabu, dan
larangan, khususnya dalam hal seksual sehingga secara psikologis kondisi ini
merangsang daya imajinasi dan fantasi tentang seksualitas. Upacara perkawinan merupakan
pintu gerbang legitimasi yang melaluinya segala rahasia tentang seksualitas
dapat dibuka tabirnya dan segala fantasinya dapat dilihat, dirasakan, dan
dinikmati.
Namun, di abad teknologi (internet) dan
tontonan massa dewasa ini, bersama dengan melunturnya makna transendensi
perkawinan itu sendiri, segala rahasia dan fantasi seksual dapat diperoleh dan
dinikmati anak-anak lewat representasi media, seperti televisi, internet, dan
sebagainya. Fenomena ini menunjukkan suramnya dunia anak-anak kita saat ini.
Mereka kini hidup dalam dunia yang di
dalamnya segala bentuk rahasia yang di masa lalu menjadi milik pribadi dan
mempunyai status terlarang (seperti seks, tubuh, keseronokan, cabul, rasa tak malu,
dll) diproduksi menjadi komoditi, diumbar, disebarluaskan, dan dipertontonkan.
Akhirnya, segala rahasia yang seharusnya menjadi milik pribadi ini diredusir
menjadi milik massa, termasuk anak-anak.
Anak-anak yang lazim digambarkan bak
segelas air bening kini telah tercemar pelbagai “sampah” dan “polusi” sehingga
masa depan mereka menjadi kian terancam. Inilah senjakala dunia anak-anak kita. Lantas, bagaimana respons kita melihat ini?
Kesalahan tentu tidak terletak sepenuhnya pada
anak-anak. Anak-anak itu hanyalah korban dari generasi sebelumnya yang demi
jargon-jargon kebebasan dan kemodernan telah memproduksi pelbagai tontonan sampah:
gambar porno, film brutal, video biru, dll.
Merebaknya pelbagai tontonan sampah itu sontak
mengkhawatirkan kita semua karena tontonan-tontonan itu potensial menumpulkan
hati dan daya kritis anak-anak dalam membedakan yang baik dan buruk, pantas dan
tidak pantas, manusiawi dan tidak manusiawi, dll. Di lingkungan perkotaan,
tantangan ini benar-benar nyata.
Peran Kita
Sebelum semuanya menjadi banal, hendaknya
anak-anak mulai disadarkan akan hal ini dan akan bencana masa depan yang menghantui
mereka. Harus dibangkitkan api perang melawan kecenderungan global dan segala
industri tontonannya, yang telah begitu gamblang mencemari mereka dengan begitu
banyak tontonan sampah.
Di sini, dibutuhkan peran yang besar dari
orang tua untuk menanamkan kembali nilai-nilai moral dan budi pekerti dalam diri
anak-anak agar mereka tidak tercerabut dari budaya dan keadaban sosial. Setiap aktivitas
anak, terutama aktivitas virtualnya, mesti diawasi dengan ketat. Selain itu,
diperlukan juga peran para pendidik di sekolah dan masyarakat secara
keseluruhan untuk terus-menerus mencerahkan anak-anak kita ini.
Anak-anak adalah generasi masa depan
bangsa. Kita semua memiliki kewajiban untuk menjaga dan menjamin masa depan
mereka. Mari memberikan perhatian dan pendidikan yang lebih baik kepada anak-anak kita. Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional!
Jonsen W. Nuwa, nama pena seorang lelaki penuh rahasia, tinggal di Jakarta
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment