Ekosospol
Joan Udu
22 Tahun Reformasi dan Nasib Demokrasi Kita
![]() |
kompas.com |
Joan Udu
Demokratisasi merupakan salah satu
agenda besar reformasi. Sejak tumbangnya Orde Baru pada 21 Mei 1998, Indonesia
memutuskan meninggalkan rezim autokratis dan lantas memulai suatu rezim baru
yang disebut rezim demokrasi. Sejak itulah penentuan arah perkembangan negara
tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah, tetapi oleh demokrasi itu sendiri.
Lantas, apa signifikansi demokrasi di
sini? Satu hal yang pasti bahwa demokrasi lebih mampu menjamin terwujudnya
ide-ide kebebasan, kesetaraan, dan kemajemukan di Indonesia. Berbeda dengan rezim
otoriter, rezim demokrasi lebih bisa menjamin partisipasi publik dalam setiap
proses politik. Demokrasi tidak membuka ruang bagi pemerintahan sepihak oleh
pemerintah, tetapi pemerintahan desentralistis oleh yang diperintah. Inilah
sebuah kratos (pemerintahan) yang dijalankan oleh demos (rakyat).
Esensi demokrasi persis terletak pada hal itu.
Lalu, apakah ide dan proyek demokrasi
itu sudah sungguh dijalankan bangsa ini sejauh ini? Apakah rakyat (demos)
Indonesia sudah mencerminkan dirinya sebagai warga negara demokratis?
Fakta Empiris
Dari
pengalaman empiris selama ini, setidaknya melalui pelbagai proses demokrasi
elektoral dari tingkat daerah (Pilkada) sampai tingkat nasional (Pilpres), terlihat
masyarakat warga sudah menunjukkan komitmen kolektif dan partisipasi aktif
dalam ruang-ruang sosial dan politik. Pada Pemilu 2019, tren komitmen dan
partisipasi politik itu semakin membaik, yaitu mencapai angka 81 %.
Jika
dibandingkan dengan Pemilu pada tahun 2014 (70 %), partisipasi pemilih pada
tahun 2019 meningkat 10 %. Bahkan, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU),
pencapaian ini merupakan prestasi terbaik sejak 2009 (Kompas.com,
27/5/2019). Ini menunjukkan tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia
semakin membaik.
Kehadiran media sosial semakin memperlihatkan
tren positif itu. Dalam media sosial, orang menemukan ruang mahaluas untuk
mengutarakan kata hati serta gagasannya, termasuk menyatakan preferensi
politiknya. Media sosial bahkan sangat efektif dijadikan sarana politik
elektoral, di mana orang dengan mudah dan leluasa mangampanyekan keunggulan
pasangan calon pilihannya sambil pelan-pelan memengaruhi preferensi politik pemilih
yang lain.
Namun, jika melihat secara cermat
fakta Pilpres 2019 yang lalu, terbukti instrumentalisasi media sosial untuk
kepentingan kampanye politik berujung ambivalen. Sebab, selain menjadi wadah
kampanye positif, terbukti media sosial juga menjadi wadah kampanye negatif.
Para pemilih pragmatis dengan leluasa menebarkan hoaks untuk menyerang pasangan
calon lawan. Tak pelak, manipulasi, caci maki, hujat-menghujat, dan berita bohong
berseliweran di media sosial. Kebebasan yang dimungkinkan oleh demokrasi
membuat orang hidup sebebas-bebasnya, bahkan sampai menabrak prosedur hukum dan
batas-batas moral politik.
Di hadapan media sosial, rakyat
pemilih seakan mengalami semacam kegalauan eksistensial: antara sungguh
memverifikasi kedaulatan dan komitmen politiknya sebagai demos atau
harus melacurkan diri pada kepentingan elite dengan menebarkan fitnah dan
berita bohong. Tetapi, pemilih pragmatis biasanya lebih senang masuk dalam tipe
pemilih kedua, yang melacurkan diri pada elite politik oportunis dan oligark
gila kuasa. Mereka akan melakukan apa saja, bahkan yang tak halal sekalipun, demi
keuntungan pemodal mereka.
Hal ini sangat terlihat dalam
dinamika kampanye Pilpres 2019 dan juga Pilkada DKI Jakarta pada 2017, yang
cenderung manghasut dan memancing permusuhan horizontal di tengah masyarakat. Sebagian
pemilih (voters) dengan mudahnya percaya pada elite oportunis, lalu
tanpa berpikir kritis dan panjang memutuskan untuk melacurkan diri demi kepentingan-kepentingan
privat mereka.
Para pemilih pragmatis itu begitu
gampangnya diperalat dan diperlakukan sebagai angka-angka yang melapangkan
jalan para elite politik dan oligark itu menuju kursi kekuasaan. Mereka lantas bermetamorfosa
menjadi ‘massa’ yang emosional, sentimental, dan infantil, yang rela turun ke
jalan, berdemonstrasi secara anarkis, merusak fasilitas-fasilitas publik,
menerjang prosedur hukum, demi kepentingan elite dan pemodal itu.
Maka, apa yang disebut demokrasi
kemudian tak lebih dari persekongkolan antara massa dan elite oportunis untuk
mengkhianati demokrasi itu sendiri (Hardiman, 2013). Massa menjual kebebasan
politiknya demi uang dan elite menerima posisi politis yang dipakai untuk
mengembalikan modal kampanye sekaligus mencari untung.
Inilah nasib demokrasi kita selama 22
tahun masa reformasi ini. Jika pada masa Orde Baru orang dibuat apatis dan
takut berpolitik, pada masa reformasi ini, ketika politik tidak lagi
menakutkan, orang malah melecehkannya. Kesadaran politis dan komitmen
berdemokrasi kita masih sangat rendah. Pelakunya di sini bukan hanya rezim dan
partai-partai politik, melainkan juga kelompok-kelompok masyarakat.
Memperkuat Etos Demokrasi
Lantas, apa yang harus dilakukan di
tengah rusaknya sistem demokrasi ini? Satu hal yang paling elementer adalah membersihkan
demos dari kerumunan (massa) dan mengembalikan hakikatnya sebagai
masyarakat warga (civil society) dalam ruang publik politis. Melalui
jalan ini, partisipasi politik dilakukan bukan hanya untuk survival
belaka, melainkan juga untuk mengaktualisasikan keutamaan moral sebagai warga
negara.
Untuk menjamin kontinuitas agenda
demokrasi, setiap warga negara (demos) mesti memiliki kesadaran politis
akan kedudukannya sebagai subjek politik yang otonom dan berdaulat. Ia harus
menunjukkan komitmen politiknya dengan selalu terlibat secara sadar, aktif, dan
partisipatif dalam setiap proses politik, tanpa terkooptasi kepentingan parsial
elite politik dan oligark pragmatis.
Setiap warga negara harus memperkuat etos
demokrasi, yang antara lain dilakukan dengan ikut terlibat dalam proses
perancangan program dan visi politik orang yang dipilihnya dalam Pemilu, lalu
mengontrol pelaksanaannya, serta mengevaluasi kinerjanya. Dengan cara ini, ia
betul-betul memverifikasi kedaulatannya sebagai demos dan mencerminkan
dirinya sebagai sosok warga negara demokratis.
Para elite politik pun diharapkan
agar selalu mendekati setiap warga negara sebagi subjek politik, bukan sebagai
objek yang bisa dimanipulasi. Elite politik mesti memberikan pendidikan politik
yang mencerahkan kepada setiap warga negara. Melalui langkah-langkah ini, proyek
demokratisasi yang merupakan agenda besar reformasi dapat berjalan seperti yang
diharapkan.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment