Cerpen
Sastra
*Riko Raden, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, NTT. Sekarang ia tinggal di unit St. Rafael pada seminari tinggi St. Paulus Ledalero.
Sinta dan Ilusi yang Ditinggalkannya (Cerpen Riko Raden)
![]() |
kompasiana.com |
Betapa menjenuhkannya bertahan pada cinta yang telah
berhenti bertumbuh. Betapa melelahkannya mencari cara membuatmu kembali luluh.
Jika kita bisa semanis dulu, setidaknya aku tidak akan merasakan pahitnya
kehilanganmu. Jika memang kita sudah tak bisa bersatu, setidaknya kau katakan terus terang kepadaku perihal itu agar kita bisa mencari cara bagaimana mengatasi semua ini bersama-sama, bukannya seperti ini, pergi begitu saja, tanpa meninggalkan pesan.
Semalam aku tak bisa tidur karena selalu memikirkanmu, Sinta.
Aku kira engkau akan kembali dalam pelukanku, tapi nyatanya engkau terus pergi dan tak pernah kembali lagi.
Di bawah kolong langit malam ini, aku sepi sendiri, merindukan sosokmu yang selama ini membuatku bahagia. Aku tahu mungkin kau tak akan kembali lagi. Aku sangat paham itu. Tapi setidaknya engkau mengerti isi
hatiku saat ini, bahwa aku sangat mencintaimu.
Engkau pergi tanpa meninggalkan pesan yang bisa kujadikan
kenangan di akhir hubungan ini. Aku
sendiri sebenarnya tidak pernah ingin berpisah darimu. Sebab
aku yakin engkau malaikat tanpa sayap yang selalu
menerangi segala lorong gelap hidupku.
Di dalam kamar
sepi ini, Sinta, aku menyendiri sembari mengingat parasmu yang cantik. Seandainya engkau tak memilih pergi dengan cara seperti ini, pasti aku akan selalu bahagia. Senyum manismu selalu
membuatku enggan berpaling, ingin terus menatap wajahmu. Aku tak pernah menyangka engkau akan
setega ini.
Dulu saat kita masih bersama, bukankah
aku pernah bilang, “Enu, kalau
punya masalah, apa pun itu, ceritakan padaku. Mungkin kita bisa cari sama-sama
solusinya nanti.” Aku masih ingat, saat itu kau menjawab tenang, “Baik nana, itu
sudah pasti.”
Aku percaya, kau akan terbuka
padaku. Tapi nyatanya tidak. Kau pergi tanpa sebuah alasan yang jelas, tanpa
meninggalkan cerita tentang sebuah masalah yang harus kita pecahkan bersama.
Aku tidak tahu apakah engkau pergi karena masalahmu terlampau
besar, atau entah. Atau mungkin kau lebih
memercayai orang lain untuk mengatasinya. Atau juga mungkin kau bosan dan jenuh dengan hubungan kita ini.
Waktu pertemuan terakhir di lorong itu, aku
memang sudah membaca, sikapmu sudah mulai berubah Sinta, tidak seperti sebelumnya. Aku
pun sempat bertanya perihal itu saat itu, tapi kau bilang tak ada apa-apa, lalu
diam seribu bahasa. Aku pun jadi malu dan kemudian berpikir bagaimana mengembalikan semuanya seperti semula, saat dunia hanya berputar mengelilingi kita. Tapi, tampaknya, usahaku sia-sia, sebab engkau sudah begitu berubah. Barangkali kau
sudah benar-benar bosan dengan hubungan kita ini. Itu keyakinanku waktu itu.
***
Suatu malam, aku pergi berjalan-jalan ke rumah teman. Namanya
Dino. Jarak
rumahnya tidak jauh dari rumahku. Di samping rumahnya, ada sebuah taman kota yang tak pernah sepi pengunjung. Setiap malam anak muda selalu ramai di situ. Ada yang
duduk sendiri sambil menikmati angin malam, ada juga yang
duduk berduaan dengan pacar.
Kami sepakat untuk duduk di sebuah
pojok taman, menjauhi sinar lampu. Sementara aku
membetulkan posisi duduk, tiba-tiba
Dino bertanya tentang hubunganku dengan Sinta. Mungkin Dino belum tahu kalau
kami sudah lama berpisah. Maklum, karena selama ini aku menjaga rahasia ini supaya orang
lain tidak mengolokku sebagai jomblo. Tapi kali ini aku merasa
tidak perlu merahasiakannya lagi. Aku katakan sejujurnya kepada Dino bahwa aku dan Sinta sudah berpisah. Dia mengangguk,
tanda mengerti, tapi ekspresi
wajahnya sangat sedih.
Hampir dua jam kami duduk di taman kota ini. Jam
kini sudah menunjukkan pukul dua belas. Taman pun mulai sepi, ditinggalkan satu
per satu oleh para pengunjungnya. Angin
malam mulai terasa dingin. Dino dan aku juga sudah mulai mengantuk. Tanpa berpikir panjang, kami
mengakhiri pertemuan malam itu, lalu pulang ke rumah masing-masing.
Kami menyusuri jalan setapak
taman ini, bergegas menuju pintu keluar. Sunyi dan sepi. Benar-benar tak ada lagi pengunjung di taman ini. Begitu
pikirku dalam hati kala itu. Namun,
tanpa sengaja, aku menoleh di arah kiriku. Di sana masih ada dua manusia,
duduk berpasangan. Di bawah terang lampu, mereka duduk dengan
mesra. Begitu melihat kami, mereka
pura-pura duduk menjauh. Mereka tidak tahu kalau aku sudah
terlebih dahulu melihat mereka.
Sangat mesra,
pokoknya mesra sekali.
Tak
lama kemudian mereka juga terlihat mau meninggalkan taman kota itu. Aku dan Dino sengaja duduk sebentar di depan pintu keluar. Tiba-tiba mereka muncul.
Aku baru sadar, ternyata itu Sinta dan kekasih barunya. Aku menatap mereka
lekat-lekat, dan hatiku terasa sakit. Sakit sekali.
Sinta
tampak cuek, seakan tak pernah mengenalku. Kami berpapasan, tapi dia sama
sekali tak menyapaku. Aku mau
memanggil namanya, tapi entah kenapa aku
tak bisa. Aku tercekat, tak bisa berbuat apa-apa. Dino
juga tak tahu harus berbuat apa, selain hanya
memberikan tatapan kosong. Sinta pun akhirnya terus bergegas, pergi dan pergi
terus bersama kekasih barunya, meninggalkan kami tanpa basa-basi. Dia pergi
dengan kebahagiaan barunya dan meninggalkan aku sebuah luka yang tiada
bandingnya.
***
Sejak kejadian itu, aku sudah
tidak pernah memikirkan Sinta lagi. Bagiku, semuanya sudah
jelas, terutama alasan kepergiannya yang penuh rahasia. Selama ini aku pikir tak
ada orang ketiga dalam hubungan kami. Ternyata dugaanku itu salah telak. Ternyata
ada orang lain yang jauh lebih beruntung daripadaku untuk mendapatkan cinta
Sinta.
Ya,
biarkan Sinta pergi dengan kebahagiaannya. Jika memang sudah tak ada lagi alasan untuk
bersatu, pergilah kau
Sinta sejauh mungkin,
sejauh yang kau mau, sampai aku merasa benar-benar sendiri dan menyembuhkan
semua rasa sakit hati ini sendirian. Mungkin dengan itu aku akan lebih terbiasa untuk tidak
berharap terlalu tinggi pada apa yang sebanarnya ilusi dan tak berwujud.
*Riko Raden, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, NTT. Sekarang ia tinggal di unit St. Rafael pada seminari tinggi St. Paulus Ledalero.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment