Gagasan
Obral Ide
Menolak Lupa!
Joan Udu
Untuk konteks Indonesia, Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah anak sejarah yang dilahirkan dan diperjuangkan dengan sangat susah
payah. Pemerintah sudah menjanjikan pengusutan sekaligus penyelesaian
kasus-kasus HAM masa lalu, tetapi sampai sekarang pelaksanaannya masih jauh panggang
dari api.
Penanganan
kasus HAM semakin dilematis manakala negara, yang secara konstitusional
(sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945) mengemban tanggung
jawab besar dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, terkesan
apatis dan tidak serius. Karena itu, meskipun HAM secara internasional dan
nasional telah diterima sebagai konsepsi dasar peradaban manusia, eskalasi
pelanggaran HAM tetap saja menanjak tajam dari tahun ke tahun.
Bahkan,
dalam sajarah Indonesia, negara yang seharusnya memiliki kewajiban utama dalam
melindungi dan memajukan HAM acapkali menjadi aktor utama pelanggaran HAM.
Kenyataan ini serentak menyeruakkan harapan sekaligus tuntutan fundamental agar
negara sesegera mungkin menuntaskan benang kusut kasus HAM di republik ini,
terlebih khusus kasus-kasus HAM masa lalu yang seakan dilupakan begitu saja
oleh negara, termasuk oleh rezim Jokowi.
Ekspektasi yang Pupus
Terpilihnya Ir.
Joko Widodo sebagai
Presiden RI, pada awalnya, membawa ekspektasi baru bagi penyelesaian kasus
pelanggaran HAM lantaran beliau pernah berjanji untuk mengungkap dengan adil
kasus pelanggaran HAM berat di republik ini. Namun, alangkah disayangkan, saat
ini sejumlah kasus pelanggaran HAM masih tetap belum jelas kelanjutan
penyelesaiannya. Bahkan, pemerintah terkesan lalai dalam menangani masalah ini.
Peristiwa
Pembunuhan Massal 1965, Peristiwa Talangsari-Lampung 1989, Tragedi Penembakan
Mahasiswa Trisakti 1998, Tragedi Semanggi I 1998, Tragedi Semanggi II 1999,
Kasus Wasior dan Wamena (2001 dan 2003), Kerusuhan Mei 1998, Penembakan
Misterius (Petrus) 1982-1985, yang menelan banyak korban, hingga kini belum
jelas penyelesaiannya.
Terkait
itu, Setara Institute mencatat suatu
fakta miris bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut seringkali macet
di Kejaksaan Agung. Lah,
mengapa dan ada apa di balik ini?
Penyelesaian
kasus pelanggaran HAM masa lalu sangat mendesak, bukan hanya karena merupakan
amanat reformasi, tetapi juga sebagai langkah awal bangsa untuk menatap masa
depan. Penuntasan pelanggaran HAM berat menjadi momentum untuk menguji
ketahanan bangsa sebagai negara hukum.
Dalam
hal ini, Presiden Jokowi bisa saja berdalih bahwa prioritas pemerintah saat ini
adalah pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Tapi, dalih ini dapat kita nilai
sebagai sebuah skenario licik untuk menghindari tanggung jawab konstitusional
dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
Ingat!
Pengungkapan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu akan menjadi batu
uji bahwa di negeri ini hukum masih berdaulat. Bahwa Indonesia sungguh negara
hukum, sebagaimana ditandaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945.
Namun,
sayangnya, sejumlah kasus HAM berat selama ini hanya mondar-mandir di Komnas HAM dan
Kejaksaan Agung, tanpa menemui titik terang. Lantas, kapan semua kasus itu
ditangani secara serius dan tuntas oleh pemerintah?
Menolak
Lupa
Fenomena
‘lupa’ terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh dibiarkan
terus membatu begitu saja. Jokowi, yang akrab dikenal sebagai sosok yang
merakyat, mesti punya “hati” dalam menyelesaikan masalah-masalah serius ini.
Jokowi tidak boleh hanya fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur,
tetapi juga harus mampu menjamin dan merealisasikan rasa keadilan rakyat,
terlebih keluarga para korban kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Negara
harus hadir secara nyata dalam melayani rasa keadilan rakyat. Apalagi rencana
pengusutan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu ini sudah diagendakan
Jokowi sejak 2014. Tapi, karena eksekusinya belum optimal, maka sampai kapan
pun, kita akan terus menagih janji kampanye Jokowi itu.
Kita
tidak boleh diam, apalagi apatis. Jangan ada kata ‘lupa’ untuk terus menuntut
keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan setiap kasus HAM. Keseriusan kita
dalam mendesak pemerintah menjadi bentuk solidaritas kita terhadap keluarga
para korban kasus HAM masa lalu.
Maka,
sekali lagi, Presiden Jokowi harus punya “hati” untuk mendengarkan jeritan
keluarga para korban kasus HAM ini. Saatnya Jokowi membuktikan integritasnya,
bahwa ia tidak hanya pandai menebar janji, tetapi juga cerdas mewujudkannya.
Periode kedua masa pemerintahan ini menjadi momentum penting untuk menguji itu.
Jika
ingin menjadi pemimpin yang akan dikenang dengan baik oleh rakyat, Jokowi harus
memasukkan rencana penyelesaikan kasus HAM sebagai salah satu agenda penting
yang harus diwujudkan di periode kedua ini. Pemerintah harus bisa memulihkan
hak para korban dengan mengadakan pengadilan HAM yang benar, jujur, dan adil.
Perangkat
hukum untuk itu sudah cukup adekuat. Rujukannya adalah TAP No XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi
Manusia.
Kasus-kasus
itu harus diselesaikan bukan semata-mata demi formalitas hukum, tetapi karena
terlahir dari kehendak baik pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Kita berharap, di periode kedua masa pemerintahan ini, Jokowi
semakin serius mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM di republik ini.
Keseriusan
itu akan menjadi indikator untuk mengukur apakah Jokowi mampu menjamin rasa
keadilan setiap warga negara ataukah ia hanya pandai membangun ekonomi dan
infrastruktur. Waktu selama kurang lebih empat tahun ke depan akan membuktikan
itu. Mari kita kawal pemerintahan Jokowi di periode kedua ini!
(Tulisan ini pernah diterbitkan di Majalah Gita Sang Surya, edisi November-Desember 2015)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment