Cerpen
Sastra
*Theos Seran, menetap di Wisma St. Mikhael Ledalero, Maumere, NTT.
Berkat Suara dari Seberang Telepon (Cerpen Theos Seran)
![]() |
beritagar.id |
Pada malam yang sengkarut kau tepiskan cawan perak
berisi teriakan kelaparan anak-anak kampung dan rintihan penuh derita ibu-ibu
miskin yang kehabisan beras untuk dimasak malam ini.
***
Kau sadar bahwa kau adalah orang terkaya
di kampungmu. Rumahmu bermodelkan barok dengan dua menara menjulang di
cakrawala biru. Beberapa penjaga bayaran siap siaga di depan pos depan rumahmu
yang senantiasa sigap menjaga harta-hartamu.
Rumahmu
sengaja kau bangun tepat di puncak bukit di pinggiran kampung agar jauh dari
jangkauan warga yang kerap meminta sumbangan untuk alasan ini dan itu. Kau akan
lebih muak ketika ada pengemis kampungan yang kebetulan mengetuk pintu rumahmu
untuk sekedar meminta sepeser uang untuk membeli makanan atau barangkali ada
sisa makanan yang mungkin jatuh dari atas meja makanmu yang super mewah.
Kau
merasa gembira dengan hidupmu yang berkecukupan dengan seorang isteri yang
molek menawan, namun agak matre, dan dua orang putri yang yang imut dan
cengeng. Malam ini adalah malam yang melelahkan setelah seharian memeras tenaga
demi mengumpulkan harta yang ketika semakin dicari justru akan membuat kau semakin
haus.
Engkau
harus berteduh sendirian di bawah hujan deras yang mendera seantero kota ketika
mobilmu macet. Malam semakin bersolek bersama gemawan yang meraung-raung minta
jatah turun ke bumi dalam rupa butir-butir hujan. Kau masuk ke kamar tidur
kedua putrimu dan kau betulkan selimut mereka yang tergeletak di lantai, merapikan
buku-buku pelajaran yang masih berserakan di atas meja belajar, sekaligus
mematikan lampu belajar mereka.
Kau
lalu menuju ke dapur dan meneguk segelas air putih untuk memulihkan kesehatanmu
seturut nasihat dokter pribadimu. Setelah itu, kau pergi membenamkan mata di
kasur super empuk tepat di samping isterimu.
Kau
berusaha memejamkan mata, namun tak dapat. Pikiranmu melayang tak tentu arah. Titik-titik
hujan semakin getol meminta jatah dan hempasan angin selatan berseloroh kencang
dengan nada lembabnya seolah ingin mengejekmu yang sedari tadi meronta-ronta
dalam selimut bulu buatan luar negeri itu.
Sayup-sayup
kau dengar suara dengkuran isterimu dan igauan malam dengan formulasi kata yang
aneh. Halilintar semakin menggelegar di luar sementara pikiranmu masih terpekur
di luar rumah.
“Ting…tong…ting…tong…”
Tiba-tiba
kau mendengar deraan bandul pada jam dinding di ruang tamu rumahmu pertanda malam
sudah larut. Kau tengok sebentar ke arah arlojimu yang kau taruh sedari tadi di
atas meja di samping pembaringanmu. Kau tertegun dengan angka 00.00 tengah
malam, sebab seharusnya kau sudah lelap dalam buaian mimpi, bukan malah
sebaliknya melongo di bawah selimut bulu itu.
“Kriiiinggg….kringgg…..kringgg….”
Tiba-tiba
kau mendengar dering telepon rumahmu yang kau letakkan di samping meja di kamar
tidurmu. Suatu kejadian yang tidak biasa. Sebab hampir tidak pernah kau
menerima telepon larut malam seperti ini. Lagipula siapa yang hendak
memboroskan waktu tidurnya hanya untuk menelepon, kecuali dalam keadaan-keadaan
darurat. Kau mengumpulkan segenap tenagamu untuk sekedar menjawab telepon rumah
itu dan mengetahui apa keperluan dari suara di seberang telepon itu.
“Hallo…?”
kau berujar dengan suara parau.
“Ya,
hallo juga…,” suara di seberang telepon itu menimpali.
“Selamat
malam…”
“Selamat
malam…,” tukas suara di seberang telepon itu sembari mengulangi ucapanmu dengan
suara yang agak memelas.
“Anda
siapa ya?”
“Rodriques…,”
tukasnya singkat.
“Namaku
Rodriques juga, tapi Rodriques Del’Cista!!!”
“Ya,
aku pun Rodriques Del’ Cista.”
“Hei,
jangan main-main dengan saya ya. Katakan saja siapa Anda. Katakan segera
keperluanmu dan sudahi percakapanmu! Anda sungguh mengganggu istirahatku.”
“Tepat
seperti katamu, aku adalah denyut nadimu, aku adalah yang kau pikirkan, aku
adalah yang kau rasakan, aku adalah kau yang tak dapat memejamkan mata.”
“Kurang
ajar, jangan mempermainkanku!!!”
“Tutup
jendela kamarmu sebelum petir menyambar wajahmu yang keriput!!!!” tukasnya di
seberang telepon itu.
Kau
pun berbalik arah dan menutup jendelamu yang sedari tadi lupa ditutup. Segera
sesudah jendela ditutup, kilatan sambung-menyambung dan petir menyambar beberapa
tanaman kelapa di luar dekat rumahmu.
“Hei,
kamu siapa ya dan ada keperluan apa denganku?”
“Namaku
Rodriques Del’ Cista, aku terusik oleh isak tangis para penderita pada tumpahan
isi cawan perakmu yang kau tepiskan beberapa saat lalu. Katakanlah atas kuasa
apa kau lakukan hal itu?”
Mulutmu
terkatup rapat, sementara itu keringat dingin mengucur deras dari tubuhmu. Rupanya
suara itu mengetahui apa yang sedang menggelisahkanmu dan membuatmu tak dapat
tidur nyenyak.
“Yaa…
mereka orang-orang malas dan sudah sepatutnya kutepiskan dari jatah anggaran mereka
tahun ini.”
“Lalu
jatah mereka kau sulap jadi milikmu? Bersiaplah, buku alur hidupmu akan segera
berakhir dengan penuh goresan tinta merah, pertanda neraka sebentar lagi
menjemputmu.”
“Tunggu!!!!
Bukankah sebagian dari dana itu telah aku sumbangkan ke panti sosial. Kiranya itu
diperhitungkan demi hidupku.”
“Bukankah
sudah kau bisikkan kepada media agar namamu dimuat dalam breaking news dan dinding media sosial sebagai orang yang saleh dan
namamu dipuja-puji sebagai orang takwa kepada Allah? Rodriques, dua belas jam
dari saat ini adalah waktumu berbenah, kumpulkan kembali isak tangis anak-anak
kampung yang lapar itu. Jika tidak, bersiaplah menyambut neraka.”
Kau
tak bisa berbuat apa-apa lagi selain terduduk lesu bermandikan keringat. Malam
itu kau raih map-map kantormu dan mengecek sisa cek bank milikmu. Kau menerobos
deraian hujan dini hari yang dingin itu sembari mengemudikan mobilmu secepat
kilat menuju ruangan kantormu yang terletak di lantai dua belas.
Kau tak lagi
peduli pada seloroh hujan, cubitan hawa dingin atau rasa kantuk yang semakin
kejam menderamu. Pikiranmu hanya tertuju pada jam dua belas siang ini, yang
akan menjadi jam terakhir hidupmu di muka bumi ini. Kau amat percaya dengan
suara gaib di seberang telepon itu.
Kau
berusaha mencari berkas-berkas proposal yang sudah kau buang ke tempat sampah,
mengurusi pencairan dana untuk anak-anak kampung, dan memperlancar mekanisme
distribusi hak-hak anak yatim piatu, janda, dan duda. Awalnya kau menganggap
mereka sebagai orang lemah, yang mudah kau bodohi, namun sekarang kau malahan
bertekuk lutut di bawah kaki mereka semabri memohon ampun atas dosa-dosamu pada
Tuhan.
Tiba-tiba,
suasana kantormu menjadi gelap gulita dan sayup-sayup kau dengar suara-suara
aneh nan menakutkan. Suasana menjadi sangat mencekam dan kau menggigil
kedinginan.
Tiba-tiba
kau mendengar suara amukan banteng yang kelaparan dan seketika itu juga
beberapa ekor banteng bermata merah kelaparan menerkammu, menanduk kaki dan
punggungmu hingga kau terlempar beberapa meter jauhnya. Sementara kau berteriak
kesakitan, kau lihat ternyata seekor banteng betina itu menyerupai isterimu
sendiri dan beberapa banteng lain menyerupai teman-teman sekantormu yang
menjadi partnermu dalam menggelapkan dana kaum miskin.
Kau
berteriak sejadi-jadinya ketika banteng betina yang menyerupai isterimu hendak
menerkam lehermu untuk membinasakanmu. Pada saat itu, muncullah sesosok makhluk
menyerupai malaikat melerai banteng-banteng liar itu dan meredamkan suasana.
“Inilah
sisi-sisi gelap dari hidupmu yang berjuang menaklukkanmu.” Kata makhluk yang
menyerupai malaikat itu setengah berbisik padamu.
***
Kau berusaha membuka matamu dan yang
kau lihat isterimu yang sedang menangis sambil memeluk tubuhmu di atas ranjang
rumahmu dan kedua putrimu yang memelukmu erat.
“Syukurlah
bapak sudah sadar. Bapak kami temukan pingsan di dalam ruangan kantor. Bapak
rupanya mengalami anemia berat akibat kurang istirahat. Bapak harus banyak
istirahat dan makan makanan yang bergizi untuk memulihakn kesehatan bapak.”
Begitu
tukas dokter Wilfrid, dokter pribadimu. Kau terbelalak kaget menyaksikan
isterimu di sampingmu. Kau berusaha memeluk isterimu dan anak-anakmu dengan
rangkulan penuh cinta, sambil berusaha memaafkan sisi buruk isterimu yang
menderamu kian kuat.
“Ma,
sudah jam berapa sekarang?”
“Sekarang
hampir jam sepuluh malam pa.”
“Terima
kasih banyak Tuhan, Kau telah perpanjang alur hidupku,” kau bertutur sambil
menangis tersedu-sedu.
Kau
bersyukur kepada Tuhan atas kejadian yang menyadarkanmu sambil membina isterimu
pada jalan yang benar. Suara gaib di seberang telepon pada malam itu sungguh
mengubah hidupmu.
Kau
kini sudah betul-betul berubah dan bahkan telah menjadi seorang yang sangat
dermawan. Pintu-pintu rumahmu kau buka lebar untuk orang-orang miskin dan
melarat.
Rumahmu kau pindahkan ke dalam kampung dan kau kini hidup dalam kasih
persaudaraan dengan sesamamu. Suara di seberang telepon itu sungguh membuatmu
sadar bahwa sesungguhnya hidup bukan hanya untuk dirimu sendiri, melainkan ada
bersama dan berbagi satu sama lain. Kau sungguh mengasihi sesamamu manusia
secara adil, menjadi pelopor perjuangan pengentasan kemiskinan dan kemelaratan.
Sejak
saat itu kampungmu menjadi makmur, aman, dan damai. Berkat jasamu orang-orang
kampung hidup berkecukupan. Masyarakat kampung sangat mencintaimu dan kau pun mendapatkan
banyak berkah.
Apalah
arti hidup ini kalau bukan untuk mengabdi? Apalah arti hidup ini kalau tidak
untuk saling mencintai?
Berkat
suara dari seberang telepon itu, kau kini telah hidup bahagia sebagai orang yang
merdeka. Kau merdeka dari keserakahan dan dari egoimemu, dan karena itu, kau bebas
mencintai sesamamu.
*Theos Seran, menetap di Wisma St. Mikhael Ledalero, Maumere, NTT.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment