Puisi
Sastra
Sajak untuk Ibu (Sehimpun Puisi Pilihan Petrus Nandi)
:Benedicta
Surat cinta yang pernah kau tulis
Pada jiwa yang putih
Telah melelapkan aku
Hingga candu pada buaian manisnya
Engkau wanita yang setia merangkai
Sajak-sajak doa pada permulaan pagi
Dan penghujung malam
Ibu
Kutemukan namaku kekal
Dalam letupan kata yang mengalir
Dari bibir jiwamu
Hingga bermuara pada telaga kasih
Sang khalik
Pada bening cintamu,
Kutemukan diri yang teduh sungguh
Pada tulus kasihmu,
Kugapai jawab setiap keluh dan peluh
Ibu, engkau abadi dalam relung jiwaku
Ibu, nantikan surat balasanku kelak
Bila aku dapat merangkai rahmat dan berkat
Yang pernah kaupinta dari-nya.
Kita ada untuk sebuah nikmat yang sama.
Puncak Scalabrini, Oktober 2019.
SAJAK UNTUK IBU,
2
:Benedicta
Andaikan suatu saat nanti
waktu merestuiku berdiri di atas batu
yang diukir bayanganku sendiri
berpuluh-puluh tahun,
kan kusiarkan kepada ribuan mata jejak
di jalan ini
sabda kekal yang memungut aku
dari rahim sucimu kala itu
yang membaptisku menjadi yang bahagia
Andaikan kelak mimpi yang mengalasi jalan ini
membawaku ke negeri-negeri yang jauh
kan kutancap namamu pada titik-titik kembara
hingga abadi engkau dalam rahim dunia
kan kusiarkan pula
kisah tentang hari-hari
yang menderamu,
yang mengganjarimu luka
saat kau bersikeras menyebut namaku
dan masa depanku yang kau sendiri
tak pernah tahu rupanya
Andaikan alam mengamini
ayat-ayat kerinduan yang meletup di bibir ini
akan tiba waktunya
kita menata peluh dan keluh
menjadi bahagia yang mengubur duka
saat aku berdiri
di atas batu yang diukir bayanganku sendiri
derai keringat dan titik-titik darahmu
‘kan menjelma mahkota yang menghiasi
kepalaku.
Semoga.
Lembah Karmel, Januari 2020.
TAK ADA YANG ABADI
Tak lagi kutemui di sini
ribuan kata yang pernah kautancapkan
Batu nisan telah gugur ingatannya
tinggal satu dua huruf yang bersitahan
tapi aku benar-benar tak lagi paham
bahasa tua yang patah itu
Usia waktu telah menghitam
sayap-sayap sejarah yang pernah membawamu
ke tanah ini
telah hilang dari dunia manusia
matahari dan hujan telah bersepakat membunuhnya
sungguh, di sini tak ada lagi yang abadi.
Sungguh, tak ada lagi yang perlu kita bicarakan.
Puncak Scalabrini, Oktober 2019.
*Petrus Nandi, mahasiswa STFK Ledalero
Maumere, tinggal di Biara Scalabrinian.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment