Humaniora
Religi
Menempuh Jalan Perdamaian: Belajar dari Fransiskus Asisi
![]() |
quoteamor.com |
Oleh:
Berto Namsa, OFM*
Situasi dunia sekarang, yang penuh
dengan konflik, permusuhan, dan peperangan membuat kita merindukan perdamaian. Kita
disatukan oleh harapan yang sama: hidup aman, tenang, dan tentram.
Di tengah
situasi dunia yang penuh konflik ini, harapan semacam itu seakan menjadi barang
mewah yang susah sekali kita dapatkan. Tetapi, pertanyaannya, sampai kapan kita
harus hidup seperti ini? Bagaimana kita menumbuhkan benih-benih perdamaian
dalam konteks dunia sekarang ini?
Bagi saya, perdamaian itu harus
diusahakan mulai dari diri sendiri. Sebagai orang yang menginginkan perdamaian,
kita perlu memikirkan cara-cara mewujudkan harapan dan keinginan itu dalam
dunia keseharian kita. Sekurang-kurangnya, pada level yang paling dasar, kita harus
memiliki hati yang damai terlebih dahulu, yaitu hati yang adem dan tenang, yang
mau menerima semua orang di sekitar kita. Hati yang damai akan sangat menentukan
hubungan kita dengan sesama dan seluruh ciptaan di alam semesta ini.
Memiliki hati yang damai merupakan
modal dasar dalam membangun hubungan yang positif dan harmonis dengan siapa
saja. Hal ini penting kita ingat bersama sebab pada hakikatnya perdamaian itu
sangat tergantung pada bagaimana relasi kita dengan orang lain dan ciptaan
lainnya di alam semesta. Itu artinya perdamaian sangat terkait dengan hakikat
eksistensi kita sebagai makhluk sosial. Maka, jika mau damai, milikilah hati
yang damai, dan perlakukan semua orang dan segala sesuatu dengan hormat dan
penuh takzim.
Fransiskus Asisi sebagai
Contoh
St. Fransiskus dari Asisi adalah contoh
betapa perdamaian itu sangat mungkin diwujudkan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Seluruh hidup Fransiskus menunjukkan bahwa ia adalah seorang
pencinta damai yang otentik. Ia menebarkan kedamaian ke sekitarnya bukan dengan
ceramah dan pidato, melainkan dengan teladan hidup. Ia mengusahakan perdamaian bukan
pertama-tama dengan mendesak orang untuk segera memperjuangkan perdamaian itu,
melainkan dengan menciptakannya di dalam dirinya sendiri dengan memiliki hati
yang damai.
Nah, pertanyaannya, bagaimana Fransiskus
bisa memiliki hati yang damai itu? Jawabannya sederhana: dengan selalu merawat
kebiasaan untuk tenang dan hening; menjaga hidup doa, meditasi, dan kontemplasi;
dan terus mengusahakan puasa, matiraga, dan sedekah.
Kebiasaan hening dan tenang dirawat
baik oleh Fransiskus agar ia bisa melihat dirinya secara jernih di hadapan
Tuhan, sesama, dan alam ciptaan; kebiasaan doa, meditasi, dan kontemplasi
membantunya untuk memiliki perasaan yang peka, budi yang halus, dan kasih yang
sempurna; dan kebiasaan puasa, matiraga, dan sedekah membuatnya mampu mengalahkan
diri sendiri (mengalahkan segala bentuk egoisme diri, kecongkakan duniawi,
ambisi pribadi, dan nafsu-nafsu tak teratur), agar kemudian dapat memberikan
diri bagi kebaikan bersama dan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan.
Bagi Fransiskus, jalan untuk
mengusahakan perdamaian itu tak lain adalah jalan pertobatan yang berlangsung
terus-menerus. Ini adalah usaha seumur hidup, suatu perjuangan tiada henti
untuk menjadi serupa dengan Kristus. Ini memang tidak mudah, tetapi kita harus
menempuhnya sebagai bagian dari “jalan salib” kita bersama Kristus.
Fransiskus sendiri membandingkan
dirinya dengan raja Daud yang membebaskan umat Israel dari kekuasaan raja Firaun
di Mesir (Celano, 1981). Sama seperti raja Daud, demikian Fransiskus, kita pun
dipanggil untuk membebaskan diri kita masing-masing dari segala ambisi untuk
mengusai orang lain. Kita dipanggil untuk hidup bersaudara satu sama lain,
penuh cinta yang hangat, dan saling menaruh hormat sedalam-dalamnya. Dengan demikian,
jalan persaudaraan atau perdamaian ini pun menjadi jalan pertobatan kita
masing-masing.
Menempuh Jalan Perdamaian
Jika kita betul-betul menjadikan jalan
pertobatan sebagai jalan kita bersama, maka niscaya perdamaian di seluruh dunia
terwujud dan segala permusuhan berakhir. Bercermin pada Fransiskus, kita perlu
memulai semua ini dari diri kita masing-masing, mulai dari hidup keseharian
kita, sampai pada hidup bersama kita di dalam masyarakat. Kita mesti saling
membuka hati dalam menempuh proses ini. Hindari segala perasaan benci, dendam,
dan iri hati kepada yang lain. Lihatlah orang lain sebagai “diri kita yang lain”
yang sedang mengusahakan persaudaraan dan perdamaian bersama di bumi ini.
Sebagaimana Fransiskus, kita dipanggil
untuk menempuh jalan perdamaian yang otentik dengan selalu memiliki hati yang
peka, budi yang halus, dan kasih yang sempurna dalam menerima semua orang dan
semua ciptaan apa adanya, sebagaimana nilai mereka di hadapan Tuhan. Dengan begitu,
dunia yang penuh konflik dan peperangan ini akan berangsur-angsur pulih, dan kita
pun akan hidup dalam sukacita dan damai sejahtera di dalam Tuhan.
*Berto Namsa, OFM, Biarawan Fransiskan, tinggal di Abepura-Jayapura, Papua
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment