Humaniora
Religi
Joan Udu*
Jejak “Api Penyucian” dalam Agama-agama Kuno
![]() |
Katolik.com |
Joan Udu*
Meskipun memiliki pendasaran dalam Alkitab
dan tradisi Gereja, ajaran tentang api penyucian, atau sekurang-kurangnya
ajaran tentang pengadilan dan penyucian setelah kematian, bisa ditelusuri dalam
tradisi-tradisi keagamaan kuno dan juga tradisi Yudaisme.
Dalam tradisi agama Mesir, agama Persia
kuno (dikenal dengan sebutan ‘Zoroastrianisme’), dan agama tradisional Yunani,
misalnya, konsep penyucian setelah kematian itu sudah ada.[1]
Penggambaran mereka tentang nasib jiwa setelah kematian memang berbeda satu
sama lain, namun ada beberapa penekanan yang memiliki kesamaan, misalnya konsep
tentang adanya kebahagiaan kekal untuk orang benar dan kebinasaan kekal untuk
orang jahat.
Dalam tradisi keagamaan Mesir dan Persia
kuno, memang tidak secara eksplisit disebutkan tentang adanya api penyucian,
tetapi mereka meyakini bahwa ada ganjaran bagi jiwa-jiwa setelah kematian
seturut sikap batin, perilaku, dan perbuatan mereka semasa hidup di dunia.[2]
Keyakinan yang sama juga cukup kuat dalam
tradisi keagamaan Yunani kuno, yang meyakini bahwa jiwa orang-orang yang sudah
meninggal akan mengalami proses pemurnian di suatu tempat yang bernama Hades
(semacam lubang besar di bawah bumi tempat roh-roh manusia mengalami penyiksaan
dan penderitaan) sebelum akhirnya masuk ke dalam kebahagiaan kekal.[3]
Proses pemurnian ini penting sebab jiwa sudah mengalami kerusakan selama
terikat oleh tubuh.
Pemurnian ini pun dilihat sebagai suatu
bentuk penghukuman untuk menebus dosa, untuk memulihkan jiwa dari kerusakan.
Gagasan Yunani kuno ini, yang antara lain sering muncul dalam karya-karya
Homerus dan Platon, memberikan pengaruh yang kuat kepada tradisi-tradisi
keagamaan sesudahnya, tak terkecuali kekristenan.
Sama seperti tradisi keagamaan Yunani
kuno, Yudaisme, yang cukup banyak memengaruhi kekristenan, juga memiliki
keyakinan tentang proses pemurnian atau penyucian jiwa setelah kematian. Hanya
saja dalam tradisi Yahudi tidak disebutkan secara eksplisit sebuah “tempat”
yang menyerupai api penyucian dalam tradisi Katolik. Hanya ada dua tempat yang
disebutkan, yaitu Gan Eden (semacam
surga) dan Gehinnom (semacam neraka). [4]
Akan tetapi, orang Yahudi meyakini adanya
proses penyucian bagi jiwa-jiwa setelah kematian, khususnya jiwa-jiwa yang
tidak sepenuhnya jahat. Jiwa-jiwa tersebut akan disucikan di Gehinnom terlebih dahulu sebelum
nantinya masuk ke dalam Gan Eden.
Sementara jiwa yang sungguh-sungguh jahat akan tetap tinggal di Gehinnom dan akhirnya mengalami
kebinasaan kekal.
Pandangan Yudaisme ini terlihat sangat
mirip dengan konsep Katolik tentang api penyucian, di mana jiwa yang masih
memiliki dosa, yang tidak sepenuhnya jahat, akan melewati proses penyucian
sebelum masuk ke dalam kebahagiaan kekal. Kemiripan pandangan ini semakin kuat
tatkala tradisi Yahudi menempatkan tema tentang penyucian ini dalam kerangka Olam Ha-Ba (dunia yang akan datang). [5]
Maka, sama seperti keyakinan Katolik, tradisi Yahudi pun melihat bahwa pada
“dunia yang akan datang” (eskaton/Olam
Ha-Ba), manusia secara pribadi maupun bersama akan menjalani penebusan dosa
demi penyucian dan penyempurnaan dirinya.
Baca juga: Apa Makna Api Penyucian bagi Orang Katolik?
Baca juga: Apa Makna Api Penyucian bagi Orang Katolik?
Dari elaborasi ini, dapat dilihat bahwa
kepercayaan tentang proses penyucian setelah kematian tidak hanya terdapat di
dalam Gereja Katolik. Kepercayaan ini bahkan sudah muncul dalam aneka tradisi
keagamaan sebelum kekristenan, meskipun dengan penekanan yang berbeda-beda.
Banyak pemikir Kristen menduga bahwa
tradisi-tradisi keagamaan itu turut memberi pengaruh bagi refleksi iman Katolik
tentang kehidupan dan penyucian setelah kematian. Akan tetapi, itu tidak
berarti bahwa tradisi Katolik hanya mengambil alih kepercayaan sejumlah tradisi
keagamaan tersebut, sebab bagaimanapun tradisi Katolik de facto memiliki penekanan yang khas dan otentik tentang penyucian
setelah kematian. Apalagi kepercayaan ini memiliki dasar yang adekuat dalam
Alkitab, tradisi Gereja, dan magisterium sendiri.
*Joan Udu, Redaktur Lontar Pos
[1] Lih. Richard Fenn,
“Purgatory”, 420, John Casey, After Lives: A Guide
to Heaven, Hell, & Purgatory (Oxford & New York: Oxford University
Press, 2009), 14, dan Albertus Purnomo, Riwayat Api
Penyucian dalam Kitab
Suci dan Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 17.
[2] Dalam
agama Mesir kuno, ganjaran ini ditentukan oleh dewa agung yang bernama Anubis
(anak dari dewa Osiris) berdasarkan prinsip hidup yang disebut ma’at (prinsip
harmoni antara kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan hidup). Jika
sikap dan perbuatan orang semasa hidup selaras dengan prinsip ma’at,
maka ia akan mengalami kebahagiaan, baik dalam hidup di dunia ini maupun dalam
kehidupan baru setelah kematian. Sebaliknya, jika hidupnya bertentangan dengan
prinsip ma’at, ia akan menanggung hukuman di alam baka, dan selanjutnya
mengalami kebinasaan kekal. Sementara dalam agama Persia kuno
(zoroastrianisme), yang berkembang sejak abad ke-11 SM, meyakini adanya
pertempuran antara kuasa yang baik dan kuasa yang jahat. Semua makhluk di alam
semesta ini, termasuk dewa-dewa di langit, terlibat di dalam pertempuran ini. Setiap makhluk bisa memilih:
yang baik atau yang jahat. Jika memilih “kebaikan”, maka sikap dan perbuatan
orang bersangkutan akan selalu mengarah pada hal yang baik; dan jika memilih
“kejahatan” akan melakukan yang sebaliknya. Nasib akhir makhluk-makhluk ini,
termasuk manusia, akan ditentukan pada pengadilan individual setelah kematian
dan penghakiman umum menjelang kebangkitan. Orang baik akan pergi ke surga dan
orang jahat ke neraka. Sebelum kekristenan, Zoroaster sudah mengajarkan
kepercayaan tentang pengadilan setelah kematian, tentang kebangkitan, tentang
adanya surga dan neraka. Pengaruh ajarannya ini cukup kuat dalam agama Yahudi,
Kristen, dan Islam, khususnya dalam hal eskatologi. Lih.
John Casey, After Lives, 23-42 dan Albertus Purnomo, Riwayat Api
Penyucian, 25-28.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment