Cerpen
Sastra
Tombak di Hati Mina
Joan Udu
“Jika tak ada yang setabah hujan bulan Juni, maka
aku pastikan itulah aku. Jika ada perempuan yang tak mampu menyelamatkan diri
dari kesedihan, maka aku pastikan itu pulalah aku. Hidup ini seakan harus
bersolider dengan musim, semakin lama semakin tak menentu.”
Wanita semampai itu ringis di ujung tungku. Giginya
gemeletuk lantaran dingin terus menggerus kulitnya. Telah lama kemarau enggan
berpamit, likat di tumitnya, menebarkan
kekeringan pada tanah yang menganga retak.
“Tuhan seringkali menciptakan kejutan yang tak terbayangkan”, ia mendesis,
sembari merekam siulan orang yang memanggil ternak peliharaannya.
Sayup-sayup suara-suara itu memupus seiring
malam yang keburu tiba. Gelap memanjang. Begitu pekat.
“Andai saja takdir bisa dikompromi,
aku tak mungkin memilih hidup seperti ini.” Tak lama, wanita paruh baya itu mengusap
setiap rintik gerimis di sudut matanya, lalu menyalakan pelita
reotnya yang baru saja diterpa angin. Cahaya pelita itu redup-redup
saja lantaran minyak tinggal seberapa.
“Tapi sudahlah…setali tiga uang, nasi sudah jadi bubur,” ketusnya sambil terus
melindungi pelita dari terpaan angin.
Embusan angin malam terus merembes
masuk ke celah pelepah bambu,
menusuk-nusuk kulitnya yang
lisut. Lagi-lagi giginya gemeletuk. Ia begitu ringkih.
***
Filmina nama wanita itu. Kepribadiannya yang tenang, tutur katanya
yang sopan, cara hidupnya yang bersahaja, sikapnya yang rendah hati, dan pembawaannya
yang lembut membuat orang sekampung begitu menyayanginya.
Ia mempunyai jiwa keibuan yang selalu dijaganya baik. Orang-orang sering belajar pada ketabahannya.
Ia dan putrinya, Wela, kini terlelap dalam
pekat. Di wajahnya masih tergurat sisa-sisa
keletihan setelah seharian memanggang punggung di bawah terik matahari, mendulang rupiah pada hamparan ladang yang kian gersang.
Filmina mesti ke kebun. Kebun yang membuat mimpi-mimpinya tumbuh jadi kenyataan. Kebun yang menyulap geletar mimpinya jadi lipatan-lipatan harap. Kebun di mana ia bisa tertawa sepuasnya sembari membersihkan rerumputan di bawah pohon kopi.
Ia mesti bekerja. Setalah kebun kopinya dijual untuk biaya sekolah Wela, anak semata wayangnya, ia pala di kebun tu’a golo. Itu yang membuatnya lelah setiap kali pulang rumah.
Ia sudah sangat pulas. Garis-garis di wajahnya memperlihatkan garis-garis keibuan yang setia, tabah, dan penuh harapan. Garis-garis elok
yang membuatnya sangat dicintai oleh orang-orang sekampungnya.
***
Mina. Demikian orang-orang sekampung memanggilnya. Ia adalah isteri Hendrikus Peot yang hingga
larut malam belum juga pulang rumah.
Rikus, begitu Mina memanggil suaminya itu, adalah pria yang gagah, rupawan, dan pekerja keras. Namun, itu hanyalah
kenangan yang menggenang di memori asmara
tempo dulu. Betapa lekas kegagahan Rikus jadi bekas. Sekarang
ia bukan seperti yang dulu lagi.
Cinta yang sedari dulu menyelamatkan mereka dari prahara kini semakin sirna seiring larutnya Rikus bersama aliran kartu bridge yang
senantiasa mengintai mangsa. Antara untung dan rugi.
Tak ada lagi
gelak canda dan cumbuan-cumbuan hangat saat duduk
bersama di bawah pohon kopi. Tak ada lagi
ceritera tentang ternak yang nakal di ujung kampung atau tentang lirikan maut Rikus dari sudut tungku tatkala mereka
bersekutu di satu gelas kopi. Semuanya telah raib, hanyut bersama kartu bridge
yang selalu saja membuat kalut.
Bahtera keluarga mereka telah berubah jadi litani kekeringan yang seolah solider
dengan alam yang enggan beranjak dari kemarau panjang.
Sejak petang tadi, Rikus menghilang.
“Mina? Mina?” Panggil Rikus suatu sore saat istrinya baru pulang dari kebun.
“Iya nana!” Jawab Mina sopan, penuh pengertian dan hormat sebagai seorang isteri.
Ia bergegas ke ruang tamu yang berisi dua kursi tua dan sebuah meja kecil. Rikus membetulkan posisi duduknya.
“Wela bilang, tadi siang enu pergi mengambil upah di rumah tu’a golo?” tanya Rikus akrab.
“Betul nana. Sebenarnya upahnya harus diambil kemarin, tapi ya kemarin tu’a golo pergi ke kota. Makanya tadi siang baru aku ke sana mengambil upahnya.”
Rikus mengangguk sambil sesekali mengisap kreteknya. “Begini,” suara Rikus pelan, “bagaimana kalau aku pinjam uang
itu?”
“Hae, jangan,”
potong Mina, “persediaan beras sudah menipis, atap rumah juga
beberapa sudah bocor. Apalagi Wela harus segera membayar uang sekolah!”
Rikus tenang
mendengarkan isterinya. Ia menarik nafas panjang. Pucat. Diisapnya batang kretek untuk terakhir
kalinya sebelum dibuangnya ke pojok rumah. Ia kembali membetulkan posisi duduknya.
“Enu, kau tahu aku tak pernah melewatkan jadwal judi di kampung
kita!” Rikus berusaha tenang. Nafasnya
seperti tertahan. Bibirnya bergetar.
“Hasil judi beberapa kali
memberi kita banyak kemudahan enu.
Kita bisa dapatkan uang untuk membeli seragam sekolah Wela, membeli panci, dan rokokku.”
Mina berusaha tenang. Ia tercekat.
“Apalagi enu, semalam aku
bermimpi. Aku bertemu dengan seorang lopo yang berjenggot panjang. Lopo itu memberikan aku sebuah tongkat emas. Di bagian tengah tongkat itu terbujur tulisan: lakukan sekali lagi, pasti Anda akan beruntung. Iya, tidak salah lagi. Saya pasti akan beruntung, enu.” Tak dinyana, Rikus melompat dan bersujud di kaki isterinya.
“Tolong berikan aku uang itu, enu. Jangan sampai
terlambat,” mohonnya memelas. Ia coba meyakinkan Mina, isterinya yang ia nikahi empat belas tahun lalu, dengan kisah-kisah suksesannya di gelanggang judi. Sesekali ia menambahkan riwayat kemudahan yang
diperoleh dari keuntungan berjudi.
“Tidakkkkk!,” suara Mina meninggi.
Suasana berubah genting. Rikus tersentak, menjengkang mundur dari hadapan kaki
isterinya. Ia nyengir, tak percaya isterinya setega itu.
“Minaaa!” bentak Rikus mulai naik
pitam. “Ingat, sudah seharusnya kau tunduk padaku. Aku ini suamimu! Ingat pula bertahun-tahun
aku bekerja untuk keluargamu, mengerahkan seluruh tenagaku
untuk melamarmu. Kemauan orang
tuamu tak satu pun aku lewati.”
“Nana, bukankah itu kewajiban adat kita?” timpal Mina membela diri, “bukankah
nana pernah bilang, semua itu nana lakukan dengan tulus?”, tangis Mina
pecah, membumbung ke langit-langit rumah bambu mereka, lalu menombak jantung
udara.
“Di sisa masa tunangan dulu, nana bilang
cinta tak butuh pamrih, cinta itu harus berkorban, cinta mesti diperjuangkan…dan
karena itu pula nana mau mengabdi bertahun-tahun
di keluargaku, selain sebagai ganti belis.”
Muka Rikus merah padam, ia semakin naik pitam.
“Kenapa sekarang nana seperti
lupa ingatan? Kenapa Rikus yang dulu aku bangga-banggakan kini lebih mengutamakan
judi daripada keluarga?”
Rikus terdiam. Matanya nyalang, masih tak percaya isterinya melawan dengan lancang.
“Kenapa nana berubah seperti ini saat
aku dan anakmu, Wela, sangat membutuhkanmu?”, Mina diam sebentar, hatinya
terasa begitu perih. Marah, kesal, kecewa bergelayut jadi satu di hatinya.
“Kumohon nana kembali seperti
yang dulu! Berhentilah berjudi! Seharusnya nana
lebih utamakan keluarga daripada judi yang tak jelas itu!” Ia rada emosional,
gerimis di matanya terus mengguyur.
Plakkk! Tangan sangar Rikus mendarat di pipinya yang lusuh. “Kau
terlalu lancang, Mina! Tak semestinya kau menasehatiku seperti anak kecil.
Dasar isteri tak tahu diri!”
Hening. Rikus lalu menghilang
bersama lembaran rupiah yang diambilnya dari balik bantal isterinya. Judi tak mau dilewatkannya.
Mimpi semalam meyakinkannya bahwa ia akan beruntung.
Ia bergegas ke rumah kraeng Mikael, tempat judi dihelat. Sementara Mina, isterinya
yang naas, masih terpekur di sudut ruang tamu, terisak lirih.
Serasa ada tombak yang baru saja tancap di hatinya.
Sakit, sakit sekali. Nafasnya tersengal, begitu berat.
Luka di hatinya menganga.
***
“Ende…ende…???”
panggil Wela girang. Ia baru saja pulang sekolah.
Mina terkesiap, lalu menyambut putrinya dengan sumringah, seperti tak terjadi
apa-apa. Tapi di hatinya bekas tombak Rikus belum jua lekang. Hatinya tetap menangis.
Entah sampai kapan.
Catatan:
Tu’a golo : kepala kampung
Kraeng : sapaan hormat untuk laki-laki Manggarai
Lopo : kakek yang
sudah sepuh
Nana : sapaan akrab untuk laki-laki
Enu :
sapaan akrab untuk perempuan
Ende : ibu
Pala : kerja harian
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment