Gagasan
Ulasan Buku
Petunjuk Singkat Menemukan Makna Hidup
![]() |
Sumber: Bangkit.co.id |
(Ulasan
Singkat atas Buku Man’s Search for
Meaning Karya Victor E. Frankl)
Basa-Basi Dulu:
Kencangkan Sabuk Pengaman
Sebagai manusia, tak jarang
kita merasa bosan, jenuh, dan putus asa. Tak jarang pula kita merasa
kecewa dan pupus harapan tatkala berhadapan dengan penderitaan yang sulit
dihindari. Bahkan, ada yang memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara tragis seperti bunuh diri karena
merasa tidak berarti lagi dalam hidup ini. Berhadapan dengan semua pengalaman
sulit ini, kita lantas bertanya, mengapa semua itu terjadi dalam kehidupan
manusia?
Menurut Viktor E. Frankl,
dalam bukunya Man’s Search for Meaning, peristiwa-peristiwa semacam itu selalu
mungkin terjadi terutama kalau manusia mengalami “kehilangan makna” dalam hidupnya. Kehilangan makna ini, demikian
Frankl, menyebabkan orang merasa tidak memiliki alasan lagi untuk hidup.
Lantas, bagaimana cara mengatasi hal ini?
Bagi Frankl, caranya tak
lain adalah orang harus menumbuhkan “kehendak
akan makna” (the will for meaning) dalam
dirinya. Hal ini penting agar orang selalu memiliki alasan untuk hidup sampai
kematian datang menjemputnya.
“Kehendak akan makna” ini merupakan basis konsep psikologi humanistik
yang khas dari Frankl, yang kemudian ia namakan dengan logoterapi. Apa itu
logoterapi dan bagaimana makna hidup ditemukan melalui sistem itu? Mari kita
simak bersama.
Menuju ke Ketinggian:
Berkenalan dengan Sistem Logoterapi
Logoterapi berasal dari
sebuah kata bahasa Yunani, “logos”, yang berarti ‘makna’ (meaning).[1] Istilah
logoterapi kemudian dipakai Frankl untuk menamakan sistem psikologinya,
sebuah sistem yang menekankan pentingnya “kehendak akan makna” dalam hidup manusia.
Lalu, apa pentingnya “kehendak akan makna” itu?
“Kehendak akan makna” sangat penting untuk survival, terutama dalam
menghadapi situasi-situasi batas (seperti yang dihadapi Frankl di
Auschwitz). “Kehendak akan makna” penting supaya manusia tetap eksis. Tanpa memiliki makna dalam hidup, tidak ada alasan bagi manusia untuk
meneruskan kehidupan.
Dalam hal ini, makna kehidupan tentu saja khas,
unik, dan berbeda untuk setiap individu. Mengapa demikian? Ya, karena arti
kehidupan berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain dan bahkan
antara momen yang satu dengan momen berikutnya.
Tidak ada hal yang
sedemikian rupa bahwa kehendak universal akan makna berlaku secara merata bagi manusia.
Namun, menurut Frankl, meskipun ada diferensiasi intensitas mengenai “kehendak akan makna”, setiap manusia tetap
tersatukan dalam satu kodrat yang berlaku universal dan yang menjadi alasan
untuk keberadaannya, yakni “kehendak
akan makna” itu sendiri.
“Kehendak akan makna” menjadi dorongan yang
sangat fundamental dan kuat dalam hidup manusia agar ia tetap memiliki dasar untuk bertahan dan melanjutkan hidup betapa pun peliknya
kehidupan itu dijalani. Hal ini menjadi penekanan
pokok dalam sistem logoterapi Frankl.
Berada di Ketinggian:
Petunjuk Menemukan Makna Hidup
Lantas, bagaimana cara
menumukan makna hidup melalui sistem yang bernama logoterapi itu? Nah, Frankl
merumuskannya melalui beberapa langkah. Pertama, sadari bahwa Anda
memiliki kebebasan eksistensial sebagai manusia.[2] Hal ini penting sekali sebab pada dasarnya
manusia memiliki kebebasan dalam memilih reaksi atau sikap terhadap
kondisi-kondisi dari luar yang memengaruhi kehidupannya.
Kehidupan manusia, menurut
Frankl, tidak ditentukan secara mekanistik oleh faktor-faktor non-spiritual,
seperti instink-instink biologis, pengalaman masa lalu, atau kondisi-kondisi
lingkungan yang sifatnya eksternal. Manusia secara dasariah memiliki kebebasan
dan kebebasan itu harus digunakan manusia dalam memilih bagaimana ia akan
bersikap atau bertingkah laku terhadap kondisi-kondisi eksternal yang
memengaruhinya.
Dalam konteks ini, Frankl
memang mengakui bahwa ada waktu di mana manusia juga tunduk pada
kondisi-kondisi atau kekuatan-kekuatan dari luar yang secara langsung
memengaruhi kehidupannya (seperti yang dialaminya di
Auschwitz). Namun, dalam kondisi seperti itu, manusia tetap memiliki kebebasan dalam memilih
reaksi atau sikap tertentu sesuai dengan kebebasan dan preferensi personalnya.
Kebebasan di sini sangat
kodrati dan khas dalam diri manusia (yang tidak dimiliki oleh makhluk lain,
seperti hewan dan tetumbuhan), di mana ia tidak dapat dicabut dengan alasan apa
pun. Kebebasan dengan demikian menjadi ciri otentik eksistensi manusia sebagai
manusia, yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Kebebasan inilah
yang menjadi kekuatan terakhir manusia dalam mengatasi setiap keadaan dan peristiwa hidupnya, terutama ketika
berhadapan dengan peristiwa hidup yang sulit.
Namun, perlu diingat di
sini bahwa kebebasan yang dimaksud Frankl bukanlah kebebasan dalam arti
‘sebebas-bebasnya’, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab
pribadi. Penekanan pada aspek tanggung jawab ini sangat kuat dalam sistem logoterapinya, yaitu melalui
maksim yang berbunyi: “Hiduplah seakan-akan Anda sedang menjalani hidup untuk
kedua kalinya dan hiduplah seakan-akan Anda sedang bersiap-siap untuk melakukan
tindakan yang salah untuk pertama kalinya.”[3]
Frankl percaya bahwa jika
kita hidup sesuai dengan maksim itu, kita akan senantiasa bertanggung jawab
terhadap setiap pilihan bertindak kita kapan dan di mana pun kita berada.
Orang-orang yang bebas dan bertanggung jawab, menurut Frankl, adalah
orang-orang yang berkembang—meskipun kodrat kehidupan singkat dan fana.
Mengapa begitu? Ya, karena
bagi Frankl, suatu kehidupan yang penuh makna tidak ditentukan oleh usia yang
panjang, tetapi oleh sejauh mana kita memberi kualitas pada hidup ini, betapa
pun singkat dan fananya.
Kedua, usahakan agar Anda selalu memiliki “kehendak akan makna” dalam hidup ini.[4] Hal ini merujuk pada kebutuhan dasariah manusia yang terus-menerus
mencari, tetapi bukan dirinya, melainkan suatu makna atau suatu nilai bagi eksistensinya.
Frankl dalam hal ini
berkeyakinan bahwa makna hidup dapat dicapai dengan cara mentransendensi diri.[5] Semakin
manusia mampu mentransendensi atau mengatasi perhatiannya pada diri atau
egonya—dengan cara ‘memberi’ diri pada masa depan atau pada suatu tujuan
tertentu di luar diri, baik pada seseorang maupun pada impian atau cita-cita—semakin ia
menjadi manusia secara penuh.
Di sini, masa depan,
impian, cita-cita, atau juga keinginan untuk berjumpa dengan orang yang kita
cintai dapat menjadi alasan bagi kita untuk tetap bertahan
hidup, sekalipun dalam situasi-situasi sulit.[6] Hal ini dibuktikan oleh pengalaman pribadi
Frankl sendiri ketika berada di kamp konsentrasi di Auschwitz. Keinginannya
yang kuat untuk menuliskan kembali naskah untuk teori psikologinya yang telah
diambil dan dihancurkan tentara Nazi serta harapannya untuk bersatu kembali
dengan istri dan anak-anaknya sangat membantunya dalam mengatasi semua kesulitan
di sejumlah kamp.
Berangkat dari pengalaman
itu, Frankl menekankan pentingnya kemampuan untuk mentransendensi diri sebagai
prasyarat fundamental untuk memenuhi “kehendak
akan makna” dalam hidup manusia. Hanya dengan cara
itu, manusia benar-benar menjadi manusia.
Ketiga, temukan makna hidup Anda.[7] Melalui logoterapi, Frankl menjelaskan tiga
cara yang bisa ditempuh untuk menemukan makna hidup, yaitu (1) melalui
pekerjaan dan perbuatan-perbuatan baik; (2) melalui pengalaman akan sesuatu
atau juga melalui hubungan dengan seseorang; dan (3) melalui cara kita
menyikapi penderitaan yang tidak bisa kita hindari.
Pada cara yang
pertama, makna diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu
hasil yang kelihatan atau suatu ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani
orang-orang lain yang merupakan suatu bentuk ungkapan cinta. Cara yang pertama
ini menyangkut pemberian kita kepada dunia sekitar.
Berbeda dengan cara yang
pertama, cara yang kedua lebih menyangkut penerimaan kita dari dunia.
Nilai-nilai pengalaman diperolah dengan mengalami sesuatu, misalnya melalui kebaikan, kebenaran,
dan keindahan atau dengan menikmati alam dan budaya serta dengan mengenal
manusia lain dengan segala keunikannya.
Pengenalan kita akan
manusia lain, demikian Frankl, menjadi awal dari tindakan mencintai. Jika kita
mencintai seseorang, tentu kita punya harapan bahwa kita selalu hidup
dengannya. Hal itu menjadi kekuatan yang senantiasa mendorong kita untuk optimis
dalam menjalankan hidup ini.
Selanjutnya, pada cara ketiga, Frankl menjelaskan bahwa dalam situasi-situasi yang
buruk sekalipun, yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tanpa harapan,
makna tetap bisa ditemukan. Situasi-situasi itu bahkan sangat menuntut supaya
makna ditemukan.
Penderitaan, demikian
Frankl, tidak sepenuhnya bersifat destruktif dan mengecewakan. Maka,
satu-satunya cara rasional untuk memberikan sikap kepadanya adalah menerimanya.
Cara bagaimana kita menerima nasib kita, keberanian kita dalam menghadapi
penderitaan kita, serta kesabaran yang kita tunjukkan tatkala berhadapan dengan
musibah merupakan ujian sekaligus alat ukur terakhir dari pemenuhan kita
sebagai manusia yang utuh.
Di sini, Frankl hendak
mengatakan bahwa kehidupan manusia, meskipun dalam keadaan-keadaan sulit
sekalipun, tetap memiliki makna dan tujuan pada dirinya sendiri. Pencarian akan makna ini membutuhkan
kesabaran, keberanian, dan kehendak yang kuat. Mengapa demikian? Sebab jika tidak ada lagi kesabaran
dan “kehendak akan makna” untuk hidup, manusia akan mengalami putus asa dan “kehilangan makna” dalam hidupnya.
Jika demikian, manusia bisa
saja mengakhiri hidupnya sendiri dengan tragis, misalnya dengan bunuh diri.
Oleh karena itu, bagaimanapun peliknya situasi dan kondisi hidupnya, manusia
harus selalu berusaha untuk menemukan hikmah dan makna positif di situ. Tidak
ada peristiwa hidup yang terlampau buruk sampai-sampai makna tidak kita temukan
di situ. Tidak mungkin!
Makna hidup selalu dapat
dicapai jika kita memiliki kehendak yang kuat untuk mencari dan
menemukannya dalam setiap peristiwa dan situasi hidup kita. Petualangan, penemuan, dan pengalaman
akan makna dalam hidup menjadi ciri fundamental dari eksistensi manusia.
Kehidupan manusia dengan demikian senantiasa mengandung makna yang mendalam,
bahkan sampai momen terakhir kehidupannya.
Landing: Mari Temukan Makna
Hidup Masing-masing
Nah, sekarang, pejamkan
mata dan masuklah dalam diri Anda. Sadari bahwa tidak ada yang bisa memberikan
makna dalam setiap pilihan dan tindakan-tindakan Anda selain diri Anda
sendiri.
Mulailah dengan memiliki
kehendak yang kuat dalam mencari makna dalam hidup Anda, dan yakinlah bahwa
makna itu pasti ditemukan sejauh Anda berusaha keras untuk itu. Makna hidup itu
sangat tergantung pada bagaimana kita melihat sesuatu, bukan pada bagaimana
kita mendengarkan kata orang tentang sesuatu itu. Maka, temukan makna hidup
Anda sendiri, yang khas dan unik dari yang lain.
Coba pikirkan kembali apa
yang menjadi minat (passion) dan bakat Anda. Pikirkan apa yang menjadi
cita-cita, impian, dan harapan-harapan yang harus Anda wujudkan hari ini, esok,
lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau di masa depan. Pikirkan
orang-orang yang Anda cintai, seperti kekasih Anda, orangtua Anda, keluarga
Anda, sahabat-sahabat Anda, atau orang-orang yang harus Anda layani dengan
penuh cinta.
Bayangkan bahwa dalam semua
itu Anda menemukan makna hidup yang sejati, sesuatu yang memberi arti yang luar
biasa bagi hidup Anda serta yang akan menjadi alasan bagi Anda
untuk terus menikmati hidup ini sebagai berkat dan anugerah. Selamat memaknai
hidup ini! (Joan Udu)
[6]Sebaliknya,
orang yang tidak memiliki impian, cita-cita atau harapan akan masa depan
sebagai alasan untuk tetap hidup, akan berada dalam apa yang
Frankl sebut sebagai kekosongan eksistensial (existential vacuum), yaitu
suatu keadaan yang bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan, tidak
lagi melihat maksud, dan karena itu tidak ada sesuatu yang dibawa serta.
Orang-orang seperti ini, demikian Frankl, akan segera merasa
“kehilangan”. Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, 128-130.
[7] Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning, 131-133.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment