Filsafat
Humaniora
Heidegger: Waktu Adalah Kita
(Sebuah Catatan Singkat di Hari Pertama Tahun 2020)
Memasuki
hari pertama di tahun 2020 merupakan suatu momen kemewaktuan tersendiri.
Perayaan pergantian tahun dalam hal ini merupakan sebuah cara membahasakan
"ke-ada-di-dalam-waktu-an" (Innerzeitigkeit)
kita. Apa maksudnya?
Waktu
selalu kita bayangkan sebagai sekuel titik-titik waktu yang muncul silih
berganti: satu setelah yang lain. Titik yang lewat kita sebut masa lalu; titik
tempat kita berada sekarang kita sebut masa kini; dan titik yang belum datang
kita sebut masa depan.
Kita
membayangkan bahwa semua benda dan makhluk di dunia ini ada 'di dalam' aliran
waktu tersebut. Konsep waktu macam ini disebut konsep vulgar tentang waktu, yang
menjadi asumsi dasar tidak hanya dalam filsafat sejak Aristoteles, melalui Kant,
sampai Hegel, tetapi juga dalam fisika sejak Newton.
Akan
tetapi, apakah waktu itu? Apakah dia ada di luar sana atau di dalam sini?
Tanyakanlah kepada orang-orang yang lalu-lalang di jalanan apa itu waktu, maka
mereka akan menunjuk piranti-piranti pengukur waktu (Zuhandenes), seperti arloji, kalender, penunjuk waktu pada telepon
seluler, dan sebagainya.
Pengukur
waktu (kronometer) itu tidak hanya mengukur waktu, tetapi juga mengontrol waktu
sedemikian rupa sehingga semua orang yang mengetahuinya akan menyatukan
pengalaman sesuai dengan angka-angka yang ditunjukkan aneka piranti pengukur
waktu itu. “Oh, sekarang pukul 00.00, kita akan memasuki tahun yang baru.” Apa
artinya ini?
Dengan
melontarkan kalimat tersebut berdasarkan informasi piranti pengukur waktu,
seperti arloji dan kalender, kita mengobjektifkan waktu “di dalam sini” menjadi
waktu “di luar sana”. Waktu kita kontrol sekaligus mengontrol kita. Segala
rencana, janji, harapan-harapan, jadwal perjalanan, acara keluarga, sampai
janjian kencan dirancang menurut detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, yang
diukur secara persis, sehingga semua peristiwa itu terjadi dalam tatanan
tertentu.
Presisi
satuan waktu ini sangat mengesankan. Waktu dibayangkan sebagai segmen-segmen yang
bisa dibelah-belah: yang satu terjadi setelah yang lain dalam satu rentetan.
Itulah durasi yang terbagi-bagi menjadi yang lalu, yang kini, dan yang nanti.
Tapi, jika dicermati, akan tampak bahwa waktu objektif itu merupakan
objektifikasi durasi yang sesungguhnya, yaitu durasi “di dalam sini” atau “jam
hati”.
Bagaimana
jam hati berdetak? Detak jam hati bukan detik, maka tak tetap, bisa melar atau
menciut. Dalam kebosanan, misalnya, perlambatan waktu tak terkontrol, seolah
kita 'tenggelam' dalam durasi yang melar. Rasa putus asa lebih intensif lagi
merentangkan waktu sepanjang-panjangnya, sementara jam objektif berjalan
normal.
Lain
lagi dengan kegembiraan dalam pesta (seperti pesta pergantian tahun) yang bisa
menyingkat waktu. Pengalaman kencan yang intensif juga dapat memperpendek
waktu. Bahkan sebuah pengalaman mistik tingkat tinggi seakan menghentikannya.
Lalu,
apa itu waktu? Waktu yang direnungkan oleh Martin Heidegger, seorang filosof
Jerman, pada bab 1 bukunya Being and Time
(Sein und Zeit), bukanlah sebuah
fenomena psikis belaka, melainkan menyangkut struktur-struktur (meng) Ada
manusia (Dasein) sehingga bersifat
eksistensial. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologis, Heidegger melampaui
psikologisme dan logisme.
Waktu,
bagi Heidegger, ada di dalam sini sekaligus di luar sana. Waktu itu adalah
kita. Waktu asali, yaitu kemewaktuan, yang berbeda-beda dari orang ke orang,
dipukul-rata menjadi waktu objektif. Maka, waktu objektif ini berasal dari
kemewaktuan.
Kemewaktuan
kita lebih primordial dan lebih otentik daripada detik-detik, menit-menit,
jam-jam, hari-hari, tahun-tahun, dan seterusnya, yang kita ukur secara
objektif. Maka, yang paling penting di tahun yang baru ini adalah kita terus
berakar dalam kemewaktuan kita. Di situ kita akan menjadi lebih otentik.
Selamat
mengalami momen kemewaktuan: momen haru di hari pertama tahun 2020!
Joan udu
Galur, 01 Januari 2020, pukul 00.30
Catatan:
untuk
pendalaman lebih lanjut terhadap tema ini, silakan baca salah satu buku pengantar
ke dalam Being and Time (Sein und Zeit) yang menurut saya sangat
bagus dan komprehensif: F. Budi Hardiman. Heidegger
dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003).
Setelah mengunyah tuntas
bacaan itu, silakan cicip sedikit demi sedikit buku utama Heidegger tentang Ada
dan Waktu: Being and Time (terjemahan
dari Sein und Zeit). Jika Anda
menemukan kesulitan dalam memahami buku ini, itu artinya Anda sedang intens
menyelami Heidegger dan tetek bengek pemikirannya.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment