Tek & Sains
Diringkas dari:
Dampak Bom Atom dan Pergulatan Eksistensial Empat Fisikawan
Diringkas dari:
Berton J. Berstein, “Four Physicists and the Bomb: The Early Years,
1945-1950”, dalam Historical Studies in the Physical and Biological Sciences
(diterbitkan oleh University of California
Press), Vol. 18, No. 2 (1988), 231-263.
Bom atom pertama, yang dijatuhkan di
Hiroshima pada 6 Agustus 1945, membunuh sekurang-kurangnya 70.000 penduduk
Jepang. Panglima Proyek Manhattan, Jendral Leslie Groves, begitu bangga melihat
keberhasilan misi ini. Namun, tak sedikit orang juga mengutuknya, termasuk beberapa
ilmuwan dan kerabat empat fisikawan (Arthur H. Compton, Ernest O. Lawrence,
Enrico Fermi, dan J. Robert Oppenheimer) yang terlibat dalam perancangan bom itu.
Maria, saudari Enrico Fermi, adalah
salah satu yang mengutuk serangan itu dengan keras. “Semua orang di sini bingung
dan limbung dengan efek yang mengerikan dari bom itu, dan dengan meningkatnya
kebingungan itu, untuk bagian saya, saya serahkan engkau kepada Tuhan, di mana hanya
Dia sendiri yang dapat menghakimimu secara moral,” tulis Maria (dari Italia)
dalam sebuah surat kepada Fermi.
Selain Maria, fisikawan Karl Darrow
juga mengutuk serangan yang mengerikan itu. Untuk menanggapi Darrow, Lawrence
secara temperamental menulis, “Mengingat fakta bahwa dua bom itu mengakhiri
perang, saya cenderung merasa sudah membuat keputusan yang benar. Pastinya
lebih banyak kehidupan yang diselamatkan dengan mempersingkat perang daripada
yang dikorbankan sebagai hasil dari bom tersebut.”
Lawrence di sini sama sekali tidak
mau menyatakan penyesalan apa pun. Ia bahkan menemukan nilai lebih pada
serangan bom atom itu: serangan tersebut membuat perang terlalu mengerikan
untuk diulangi. Baginya, pemanfaatan energi atom dalam senjata perang tidak
akan dianggap sebagai tanda malapetaka umat manusia, tetapi justru dilihat
sebagai langkah awal penaklukan manusia dalam ranah-ranah baru alam semesta
untuk perbaikan dan kesejahteraannya sendiri.
Argumen serupa juga muncul dalam
jawaban Compton manakala menanggapi kenalannya yang mengutuk keputusan serangan
bom atom tersebut. “Saya menyukai penggunaan bom itu, secara substansial
sebagaimana digunakan (di Jepang), dan kini percaya bahwa ini merupakan sesuatu
yang bijak”. Kurang lebih seperti Lawrence, Compton di sini hendak menekankan
pentingnya serangan bom itu untuk kepentingan jangka panjang umat manusia. Baginya,
di hadapan Tuhan, hati nurani mereka bersuara dengan jelas, di mana mereka sudah
membuat pilihan terbaik untuk masa depan manusia.
Namun, secara tak langsung, ia mengakui
bahwa penggunaan bom atom itu memang mengerikan secara moral, tetapi menurutnya
hal itu tidak begitu buruk daripada pengeboman skala besar lainnya. Oleh karena
itu, pada Perang Dunia II ini, yang merupakan suatu masa perang total, pembedaan
moral yang lama dihargai antara masyarakat sipil (non-combatans) dan
militer (combatants) tidak lagi bermakna, sebab orang-orang di depan
rumah di Jepang, sebagaimana di Amerika, sudah membuat senjata atau
menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan oleh tentara. Maka, warga sipil tidak
kurang berbahaya daripada tantara, sebab (di Jepang) keduanya memiliki tanggung
jawab yang sama untuk memulai dan melangsungkan perang. Dengan demikian,
menurut Compton, tidaklah bermasalah jika warga sipil juga ikut dikorbankan
oleh serangan bom itu.
Oppenheimer juga memiliki pendapat
yang serupa. Ia memang mangakui bahwa senjata itu merupakan sesuatu yang jahat,
namun penggunaannya mendesak pada Perang Dunia II. Pada tataran ini, menurut
Oppenheimer, serangan bom itu mengangkat kembali pertanyaan terkait apakah baik
belajar tentang dunia, untuk coba memahaminya, untuk coba mengontrolnya, untuk membantu
memberikan kepada dunia suatu wawasan dan kekuatan baru. Jawabannya,
menurutnya, jelas, “Karena kita ilmuwan, kita harus katakana ya terhadap
pertanyaan-pertanyaan itu dan jawaban itu tidak dapat diubah.” Sains “adalah
baik pada dirinya sendiri”.
Pergulatan Moral
Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa
serangan bom atom yang mengerikan itu sebenarnya menimbulkan pergulatan moral
tersendiri dalam diri empat fisikawan itu. Hal itu nampak dalam nasihat mereka kepada
Washington seminggu setelah peristiwa Hiroshima. Mereka tiba-tiba menganjurkan agar
Amerika sebaiknya menghindari perlombaan senjata nuklir dengan mencari kontrol
internasional, dalam rangka melakukan pembatasan perang. Namun, dari empat fisikawan
itu, Lawrence tampaknya masih siap melanjutkan pengembangan senjata nuklir itu,
sementara Oppeheimer dan Compton tampak tidak antusias.
Bagi Lawrence, selama Amerika menginginkan
angkatan bersenjata yang kuat, pemerintah harus melanjutkan pengembangan
intensif terhadap senjata atom. Sebaliknya, menurut Compton, hal itu
kemungkinan hanya akan mengarah pada perlombaan senjata. Akan tetapi, dalam
konteks dilema ini, mereka sepakat bahwa kontrol internasional terhadap
penggunaan senjata atom sangat diperlukan, sebab bagi mereka keselamatan Amerika
tidak bisa diletakkan pada kekuatan sains dan teknologi, tetapi pada upaya untuk
mengakhiri perang.
Namun, Sekretaris Negara, James F.
Byrnes, tidak tertarik pada kontrol internasional dan menginkan sesuatu yang
lebih besar, yaitu persediaan senjata nuklir yang lebih baik. Pemerintah
Amerika bahkan sudah mulai memikirkan pembuatan senjata termonuklir (H-bomb
atau Superweapon), yang kekuatan ledakannya melebihi bom atom. Hal itu
ditempuh pemerintah untuk keamanan dan kepentingan nasional. Untuk menanggapi
rencana ini, empat fisikawan itu lantas membuat suatu keputusan berdasarkan “alasan
moral” (moral grounds) untuk menentang pencarian senjata termonuklir itu.
Bagi mereka, bukan upaya seperti itu
(merancang bom super) yang seharusnya diinvestasikan oleh Amerika, tetapi
ikhtiar untuk mengakhiri perang, sebab dampak dari pengembangan senjata itu
akan jauh lebih besar daripada sebelumnya. Oleh karena itu, empat ilmuwan itu berharap
agar upaya pencarian bom super itu dihentikan. Mereka tidak mau melihat suatu bencana
kemanusiaan yang lebih besar lagi terjadi di muka bumi.
Ini adalah nasihat kemanusiaan yang mereka
tempatkan di atas patriotisme dan nasihat kehidupan yang mereka tempatkan di
atas nasionalisme. Bagi mereka, jika rencana
tersebut tidak bisa dikendalikan, maka beberapa sains telah menjadi begitu
berbahaya. Akan tetapi, pemerintah Amerika terus berkukuh mengembangkan
senjata super itu, khususnya pada waktu Perang Dingin menjadi lebih menakutkan
dan usaha Amerika dalam melakukan kontrol internasional terhadap energi atom tidak
berhasil.
Sains dan Negara
Keterlibatan Compton, Fermi,
Lawrence, dan Oppenheimer dalam Proyek Manhattan memperlihatkan suatu relasi
baru antara sains dan negara. Hal ini semakin kuat pada masa setelah Perang
Dunia II. Dalam konteks ini, Fermi cenderung memilih diam dalam masalah-masalah
moral yang ditimbulkan dari relasi itu, meskipun pada akhir 1949 ia menentang
bom super itu. Lawrence, yang mungkin lebih intoleran daripada Fermi, memilih
mendukung upaya negara dalam meneruskan perlombaan senjata nuklir dan akhirnya juga
mendukung pencarian bom super.
Compton, yang menyadari dirinya sebagai
seorang Presbyterian yang religius, berusaha untuk mengharmoniskan Kristianitasnya
dengan nasihatnya tentang senjata, dan lantas berkahir dengan “pertentangan
moral” yang tidak ia akui. Oppenheimer, yang sering ambivalen, menjadi orang
yang paling kuat secara politis pada tahun-tahun ini, di mana ia bertugas sebagai
penasihat Washington untuk hal-hal yang sebenarnya tidak ia suka, tetapi tidak
bisa ia tinggalkan.
Apa yang sudah diciptakan empat
ilmuwan itu pada akhirnya tidak bisa mereka kontrol sendiri. Oppenheimer secara
lugas mengungkapkan hal itu, “Dalam semacam perasaan kasar yang tidak ada
kekasaran, tidak ada humor, tidak ada pernyataan berlebihan yang bisa
dipadamkan, fisikawan telah mengetahui dosa; dan ini adalah pengetahuan yang
tidak bisa mereka hilangkan.”
Lawrence secara khas menolak
kata-kata Oppenheimer: “Saya adalah seorang fisikawan dan saya tidak mempunyai
pengetahuan untuk dihilangkan […].” Namun, pada tahun-tahun kemudian, Oppenheimer
menjelaskan apa yang dimaksudkannya: “Saya tidak memaksudkan (dosa) kematian
yang disebabkan sebagai akibat dari pekerjaan kami. Yang saya maksudkan adalah
bahwa kita telah mengetahui dosa kesombongan […]. Kita memiliki kebanggaan
dalam berpikir bahwa kita tahu apa yang baik bagi manusia, dan saya pikir itu tampak
dalam diri banyak orang yang terlibat secara bertanggung jawab (dalam serangan
bom atom di Jepang). Ini bukan urusan alamiah seorang ilmuwan.”
Kesimpulan
Nasihat dan kinerja empat fisikawan tersebut
sangat penting dalam proses penemuan, peningkatan, dan legitimasi persediaan senjata
nuklir Amerika. Mereka adalah manusia yang memiliki kekuatan berkat pengetahuan
dan keahlian mereka, namun mempunyai sedikit kapasitas untuk mengubah arah perlombaan
senjata pasca-perang. Mereka membentuk suatu model kemungkinan teknologi-saintifik,
di mana darinya pembuat kebijakan, kadang termasuk presiden sendiri, memilih
senjata yang dianggap perlu untuk kebijakan dan urusan luar negeri Amerika.
Beberapa akan berpendapat bahwa perlombaaan
persenjataan nuklir, terlepas dari kewajiban mereka, merupakan sesuatu yang perlu
disesali, dan yang lain melihat bahwa baik strategi maupun bom itu sendiri
merupakan sesuatu yang jahat. Argumen-argumen seperti itu menjadi bagian
mendalam dari pengalaman Oppenheimer, Fermi, Lawrence, dan Compton dalam “dunia
baru” persenjataan nuklir. Apa yang mereka bantu ciptakan, beberapa
merayakannya, beberapa mengutuknya, banyak yang sesali, dan mungkin beberapa
akan sesali sekaligus rayakan. Itu semua menjadi bagian dari pergulatan
eksistensial mereka. (Joan Udu)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment