Puisi
Sastra
Joan Udu
Cinta yang Menyelamatkan dari Maut
![]() |
suara.com |
1/
Masih
sangat pagi, perempuan itu
tiba-tiba
diseret ke tengah gelanggang.
Ia
tak punya siapa-siapa
selain
kelopak bunga
yang
terus dikepak-kepak angin
yang
setia mengiringi derap kakinya.
“Tuhan,
kalau boleh,
bebaskan
aku dari pencobaan ini,”
doa
perempuan itu dalam hati kecilnya.
2/
Ia
merasa sendiri di semesta ini: kosong-sepi.
Kakinya
gemetar mendengar lenguh nafas
dan geletar suara kawanan tentara
di tengah gelanggang.
Matanya seketika nyalang, tengadah ke
angkasa
setelah melihat ribuan telunjuk yang
bengal
menyambutnya dengan serapah yang
jahanam,
“Ini
perempuan jalang,” pekik mereka,
“saatnya
dirajam sekarang.”
Tak
ada yang lebih sunyi
dari
tangisan-tangisan kecilnya
yang
menggenapkan segala duka.
3/
Kawanan tentara hampir rampung
mengumpulkan sekeramba batu
sementara ia hanya bisa menarik nafas
panjang
sebab sudah lupa cara menyelamatkan
diri
dari kematian.
Hatinya nanar sambil terus berpasrah
ketika tahu tak ada lagi yang lebih
hebat dari maut.
Di kepalanya serumpun ilalang
berantakan
dan sungai batu-batu tinggal hitung
detik
menghajar rahangnya.
Di langit, matahari mulai mengernyit
di hatinya, suara jerit semakin
sengit
dan keselamatan adalah jalan paling
sunyi
yang mesti dilaluinya dengan pedih.
4/
Ketika riwayatnya hampir lapuk oleh
hujan
dan nyawanya sebentar lagi direbut
paksa oleh maut
tiba-tiba seorang lelaki semampai
merangsek ke jantung gelanggang.
“Tunggu, tunggu!” gertak lelaki itu
kepada orang-orang di gelanggang,
“yang pertama melontarkan batu
adalah mereka yang merasa tak berdosa.”
Sebentar hening,
tak satu pun yang merasa berhak
melontarkan batu-batu.
Lalu satu per satu orang-orang itu
menghilang
dan kelepak maut yang sempat mendekat
tinggal kenangan.
5/
“Siapakah namamu?” tanya perempuan itu
kepada lelaki yang menyelamatkannya
dari kuku-kuku maut.
Lelaki itu tersenyum kecil
meneguk bau kecut tubuhnya.
“Aku
adalah pertanyaan-pertanyaan
yang tak
sempat dijawab lelaki kepada kekasihnya!
Aku datang
dari tangisan-tangisan kecil perempuan!”
Dan lelaki itu menghilang,
lesak ke balik rerindang kenangan.
6/
Kenapa begitu lekas kau pergi?
Bekas-bekas senyummu
belum bisa kuingat pasti
dan sisa senja masih tunggu
di depan rumah.
Bukankah kita masih perlu bertemu?
Di dalam dadanya
setangkai kangen
dan seikat kenangan
mekar jadi karangan doa
yang mengharukan.
“Terima kasih untuk cintamu
yang menyelamatkanku dari maut,”
gumam perempuan itu
sambil terus membayangkan wajah manis
lelaki semampai itu.
Jakarta, 2017
Previous article
Next article
wow...puisi dgn pilihan diksi yang bagus dan kuat...hebat..ditunggu puisi-puisi selanjutnya.
ReplyDeleteWow...puisi dengan pilihan diksi yang bagus dan kuat...hebat...ditunggu puisi-puisi yang lain.
ReplyDelete