Humaniora
Religi
Persaudaraan Semesta: Mari Rayakan dengan Penuh Syukur!
Secara alamiah, manusia tak dapat mengingkari posisinya sebagai salah
satu bagian dari sebuah jaringan relasional yang luas. Manusia tak mungkin
dapat bertahan hidup tanpa makhluk yang lain, entah yang hidup entah yang mati,
seperti hewan, tetumbuhan, matahari, bulan, air, angin, api, dll.
Semua itu menjadi saudara seperjalanan yang senantiasa mendukung keberlanjutan
hidup manusia di bumi ini. Inilah gambaran singkat mengenai persaudaraan kosmik
yang terus didengungkan Gereja hingga kini.
Pertanyaannya, mengapa kita mesti menganggap atau menyebut ciptaan lain
sebagai saudara, bukan dengan sebutan lain? Jawabannya adalah karena semua
ciptaan mempunyai haecceitas dalam dirinya sendiri sejak penciptaan. Lalu,
apa itu haecceitas?
Istilah haecceitas diperkenalkan pertama kali oleh Beato Yohanes
Duns Scotus (1265-1308), seorang Fransiskan serta filsuf sekaligus teolog pada Abad
Pertengahan. Istilah ini berasal
dari kata Bahasa Latin “haec”, yang berarti “ini”.
Dalam Bahasa Inggris, haecceitas diterjemahkan dengan kata “thisness”.
Sementara dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata “ke-ini-an”. Lewat
konsep ini, Yohanes Duns Scotus mau menunjukkan bahwa sejak penciptaan, setiap makhluk
memiliki nilai esensial pada dirinya sendiri (Ingham, 2003: 38, 52-55). Artinya,
setiap ciptaan, memiliki nilai intrinsik yang unik, tidak tergantikan, dan tidak
sama saja dengan ciptaan lain.
Hal ini menegaskan bahwa semua ciptaan, termasuk manusia, secara hakiki
memiliki haecceitas. Tanah, batu, air, udara, matahari, bulan, dll,
memiliki nilai esensial pada dirinya sendiri sejak diciptakan demikian. Sebelum
kita lahir ke dunia, hidup, beraktivitas, dan berinteraksi dengan mereka,
bahkan sebelum kita menamakan mereka sebagai tanah, batu, air, udara, dll,
semua ciptaan itu sudah memiliki “ke-ini-an”, keunikan, dan keistimewaan masing-masing.
Bagi Duns Scotus, setiap ciptaan bernilai dan bermartabat, memiliki
esensi yang integral dan unik, terbedakan dari ciptaan yang lain, tidak
terulang, dan tidak tergantikan, kendati pun berada dalam satu spesies.
Hal itu dikarenakan setiap ciptaan adalah inkarnasi yang unik dari Sang
Pencipta.
Manusia dan ciptaan-ciptaan yang lain tidak hanya diciptakan dan dicintai
oleh Sang Pencipta, tetapi juga dihormati dalam keunikannya, dalam singularitasnya,
dalam esensialitasnya, dan dan dalam interioritasnya masing-masing. Yang satu
tidak pernah diganti atau menggantikan yang lain. Semuanya unik dan istimewa
dalam individualitasnya masing-masing.
Bagi Duns Scotus, pewahyuan diri Allah justru tampak secara nyata dalam
singularitas tiap-tiap ciptaan itu, tanpa terkecuali. Setiap ciptaan selalu
menjadi cerminan luhur dari Sang Penciptanya. Maka, sudah seharusnya setiap
ciptaan bersaudara satu sama lain dalam membangun hidup bersama di dalam kosmos
ini.
Konsep haecceitas Duns Scotus membuka kesadaran kita bahwa sebagai
salah satu ciptaan Allah, kita memiliki tugas dan tanggung jawab bersama untuk
membangun persatuan dan persaudaraan semesta dalam hidup ini. Kita dipanggil
untuk bersikap hormat terhadap seluruh anasir alam semesta ini dengan memperlakukan
mereka sesuai dengan “ke-ini-an” dan keunikannya masing-masing.
Kita diundang untuk memandang segala sesuatu di dalam kosmos ini sebagai
saudara yang diciptakan, dicintai, dan ditebus oleh Allah yang satu dan sama. Kita
dan segala sesuatu yang memiliki bentuk memberi pemahaman tentang Dia yang
membentuk segala sesuatu. Dengan demikian, semua yang bereksistensi dalam
kosmos ini, dengan “ke-ini-an”, keunikan, esensialitasnya masing-masing,
menunjukkan bahwa semua ciptaan lahir dari kasih Allah Pencipta dan sejak awal
berziarah ke dalam kasih yang melimpah itu.
Atas dasar itu, kita perlu melihat semua ciptaan pertama-tama dalam
terang relasi dengan Sang Pencipta, sebagaimana nilai ciptaan itu di hadapan
Allah Pencipta. Kita sama sekali tidak memiliki hak untuk mengurangi atau
menambah nilai esensial dalam makhluk ciptaan yang lain. Hal yang perlu kita
lakukan adalah menerima ciptaan lain dalam ke-ini-an dan keunikannya serta
menghormatinya sebagai ciptaan Allah yang bermartabat dalam dirinya sendiri.
Dalam bingkai hubungan seperti itu, kita akan mengenal diri kita sebagai
yang satu, sama, dan bersaudara dengan ciptaan-ciptaan lain, sebagai yang
berasal dari Bapa yang satu dan sama, dan yang akan kembali kepada Bapa yang
satu dan sama itu. Kita semua adalah saudara bagi yang lain di dalam semesta
ini. Mari merayakannya dengan penuh syukur dan khidmat! (Joan Udu)
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah
HIDUP, 9 Januari 2015)
Previous article
Next article
This Is The Oldest Page
Leave Comments
Post a Comment